1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
BAB 1 : Pengetahuan Tentang Diri
BAB 2 : Pengetahuan Tentang Tuhan
BAB 3 : Pengetahuan Tentang Dunia Ini
BAB 4 : Pengetahuan Tentang Akhirat
BAB 5 : Tentang Musik dan Tarian Sebagai Pembantu Kehidupan
Keagamaan
BAB 6 : Pemeriksaan Diri dan Dzikir Kepada Allah
BAB 7 : Perkawinan Sebagai Pendorong atau Penghalang Dalam
Kehidupan Keagamaan
BAB 8 : Cinta Kepada Allah
RINGKASAN
2
Kata Pengantar
Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau
sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan
agung. Meskipun bukan merupakan bagian Yang Kekal, ia hidup selamanya;
meski jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia dan bersifat ketuhanan.
Ketika, dalam tempaan hidup zuhud, ia tersucikan dari nafsu jasmaniah, ia
mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu angkara,
ia memiliki sifat-sifat malaikat. Dengan mencapai tingkat ini, ia temukan
surganya di dalam perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada
kenikmatan-kenikmatan badani. Kimia ruhaniah yang menghasilkan
perubahan ini dalam dirinya, seperti kimia yang mengubah logam rendah
menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan kimia
dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi
judul Kimia Kebahagiaan ini.
Khazanah-khazanah Tuhan yang mengandung kimia ini, ada pada hati para
nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut di
hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "... Telah Kami angkat tirai
itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam." (QS 50:22)
Allah telah mengutus ke dunia ini seratus duapuluh empat nabi untuk
mengajar manusia tentang resep kimia ini, dan bagaimana cara mensucikan
hati mereka dari sifat-sifat rendah melalui tempaan zuhud. Kimia ini dapat
secara ringkas diuraikan sebagai berpaling dari dunia untuk menghadap
kepada Allah. Bagiannya ada empat. Pertama, pengetahuan tentang diri.
Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini
sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana
adanya.
Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.
3
BAB 1 : Pengetahuan Tentang Diri
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai
dengan Hadits: "Dia yang mentetahui dirinya sendiri, akan mengetahui
Tuhan," dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur'an: "Akan Kami
tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar
kebenaran tampak bagi mereka." Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada
anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri,
bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain. Jika anda
berkata" "Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan,
muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak
akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula
halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda
makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda
dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat
bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang
hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan
anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda
dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah
sifat-sifat binatang, sebagian yan glain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya
sifat-sifat malaikat. Mestai anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yan
gaksidental dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini,
tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika
anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini.
Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika
anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka.
Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali
bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka
berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan
renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan
amarah. Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan
kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan
memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan -
dalam kemajuan anda - menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda
tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa
anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam
yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan "hati"
bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu
yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya.
Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia
4
maya; dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yan gmengunjungi suatu
negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali
ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang
merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang
yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya
selain individualitasnya. Dengan demikian, ia juga akan memperoleh
penglihatan sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun
demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh dilarang oleh
syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakan: Ruh itu adalah urusan Tuhanku." (QS 17:85). Yang bisa diketahui
adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang termasuk
dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi,
melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah
merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama,
melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di
atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an: "Siapa yang
berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yan glurus."
(QS 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan
tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu
kerajaan, jiwa (ruh) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain
sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri,
nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi. Dengan
berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk
merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung
kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi
keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau
diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus
dipenuhinya. Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa
tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas
yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang
menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau
seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan
watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut - yang di Hari Perhitungan
akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas
sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan disiplin moral
adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga
bagaikan cermin yan gjernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan, "Tapi jika
manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat,
bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya
yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental
dan peralihan belaka?" Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap
makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya.
5
Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi
kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika
gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban.
Fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa
merenung tentang Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka
ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada
nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para
malaikat. Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah
dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka,
sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Telah Kami tundukkan segala
sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi jika kecenderungankecenderungannya
yang lebih rendah yang menang, maka setelah
kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan
kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaibankeajaiban
pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai
seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik
secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar
bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burungburung
dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah,
unta dan kuda.
Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar.
Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah
dunia ruh yang tak kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran
inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari
dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa
depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu
yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur,
pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan
memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak
jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan
segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam
al-Qur'an pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini
penglihatanmu amat tajam."
Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yan gtakkasat-
mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham
kenabian, yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat
saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwatsyahwat
badani dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin
pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar
akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian
saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa
dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai,
pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu.
Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata: "Setiap
6
anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang
kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi." Setiap
manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan "Bukankah
Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya". Tetapi ada hati yang menyerupai
cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak
lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati para nabi dan
wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka
terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa
manusia bisa menempati tingkatan palin gutama di antara makhluk-makhluk
lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat
berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur
anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan
khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang
lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit
pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit,
maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka
datanglah orang itu kepadanya. Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang
ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai
mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat
pada saat-saat jaga.
2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka
saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan
jasad-jasad di luar mereka.
3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara
sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari
orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui.
Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat
Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun
yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi. Hal
ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari
kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada
seseorang yan gtelinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan
keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta. Di samping
ketidakmampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian
kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang
dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai
sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus
membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang
sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara
apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur
itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang
murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan
proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka
dogmatis.
7
Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang
yang dangkal yang - dengan menggemakan beberapa ungkapan yang
mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan kutukan
terhadap semua pengetahuan. Ia bagaikan seseorang yang tidak capak di
bidang kimia menyebarkan ucapan: "Kimia lebih baik dari emas," dan
menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari
emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf,
tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang
yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk
merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan
memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam
diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat
senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang
melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara
yang selaras. Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran,
karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan
tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga
mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan
didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika
dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia
jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal
rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan
bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak
kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah
mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa
akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang-
Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah
bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat,
atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti.
Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan
kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa
tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah
menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian
dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita
kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-
Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu
tetesan belaka. Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita
serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan, Ia
perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ
yang memang mutlak perlu bagi eksistensi - seperti hati, jantung dan otak -
tetapi juga yang tidak mutlak perlu - seperti tangan, kaki, lidan dan mata.
8
Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut,
merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di
dalam dirinya. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orangorang
yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin
mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi
yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi
yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan
pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih
penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang
pengetauhan tentan gjasad kita dan fungsi-fungsinya. Jasad bisa
diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya.
Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak
mengetahui jiwanya sendiri - yang merupakan sesuatu yang paling dekat
dengannya - maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain.
Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki
persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk
kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan
kebesaran jiwa manusia. Seseorang yang mengabaikannya dan menodai
kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang
kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang
sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih
kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk
yang paling lemah di antara segalanya - takluk oleh kelaparan, kehausan,
panas, dingin dan penderitaan. Sesuatu yang paling ia senangi sering
merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang
menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan
kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam
otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa
mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan
gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang
kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda
memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia
akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di
dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika
dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan
ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk
dari orang-orang biadab yan gpasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya
untuk - bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya
sebagai makhluk terbaik - belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya,
karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang
Tuhan.
9
BAB 2 : Pengetahuan Tentang Tuhan
Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal
dirinya, mengenal Allah." Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifatsifatnya,
manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi
karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan,
berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini.
Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna
dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan
dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di
dalam al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apaapa?"
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak
mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari
sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak
menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut
sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air
itu! Jadi, sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama (Pengetahuan
Tentang Diri - pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai,
katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta.
Jika semu orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka
diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka
hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan
makanan, serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan
kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak
bisa dibuat lebih baik lagi. Demikian pula seseorang yang merenungkan
tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya
dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta
dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing
atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin
kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah
dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam
keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya,
pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun
menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-
Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-
Ku." Dan menurut hadits Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan dirinya
sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka
tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah.
Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya,
10
ia mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri
menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.
Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan,
tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan
tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta
berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian
pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula
dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk
membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa
kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan
pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit,
senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa
dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya
adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali
warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita
membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri
kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa
ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah
pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan
kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah
ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak
kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus
mana pun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi
tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa
kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di
dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari
sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan
bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan
Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan
jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan
kecilnya sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin
menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru
kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" tergambar di
dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan
menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan
demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana
dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika Allah
menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah
yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai "Singgasana" (al-'arsy). Dari
singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang
lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam
al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang
disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampil di atas bumi dalam
bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan
keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis
11
mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di
dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena
itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang
raja dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari
kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan
manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati,
kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia
sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad sebagaimana
Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan
kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara, ada banyak
tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang
merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang
tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja.
Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas,
bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui
bahwa bintang-bintang berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi,
sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul
dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak pernah
melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah
menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan
raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada
sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai
majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada,
perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta
yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi
menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka peroleh hanyalah lewat
indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang,
yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai
dengan persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai
suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masingmasing
mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang
ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap
dengan Sang Penetap hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan
kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut
berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek
penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat
segala sesuatu, Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu
yang terbenam." (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada
sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama,
yaitu dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya jika
seseorang kehilangan rasa tertariknya apda urusan duniawi, memiliki rasa
benci terhadap kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam
12
dalam depresi, dokter akan berkata: "Ini adalah kasus melankoli yang
membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah
persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa
disembuhkan sampai udara menjadi lembab kembali." Sang ahli astrologi
akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet.
"Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an. Tidak terbayangkan
oleh mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian:
bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu,
dan oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planetplanet
atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri
orang tersebut, sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah Penciptanya.
Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang
berkilauan dari lautan pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan
dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di
tengah laut.
Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar
dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak
bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang
digunakanoleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada diri-Nya.
Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-
Ku." (ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara
bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai
pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya
(SAW): "Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan
dikenakan atas pilihan-Ku."
Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna
seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang mukmin: "Subhanallah,
alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa
berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan,
karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya
adalah pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan
bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti
bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan
bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak
sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan
padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan,
kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang
ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun
pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa
keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar
berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita.
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu -
sebagaimana yang bisa kita peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan
spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika
seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika
kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali
tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah
benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan
13
oleh ibadah. Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan
suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu
badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali
memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka
ras manusia akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti
dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia bukan hakim
yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasanbatasan
apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah
tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbingpembimbing
ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah
mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang
mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang melanggar batasbatas
ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di
dalam al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah jelas, masih ada
juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batasbatas
tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas
menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh
keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseoran gyang melihat suatu huruf yang tertulis dengan
indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa
ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang dengan cara
berpikir seamcam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan
mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang
ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang
sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka
anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan
atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan
akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri
mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita
beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi
Dia." Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi
peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak,
apa urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat
ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati
berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak
tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai
dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah
yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan
kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas
tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas14
kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu
meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu
sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak mengajarkan kita untuk
mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam
batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita
bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan,
Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah
seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orangorang
yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya
marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya
mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya,
apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir
bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara
menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa
siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau
kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti
berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk
hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak
mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah:
ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya
berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu
tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi
mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara
mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda
selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak
mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya, seluruh
dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara
mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya
hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia
yang tertinggi - terus-menerus mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka.
Beberapa di antara mereka mempunyai dosa yang sedemikian besar,
sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Pernah
diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma dibawa
kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa
korma tersebut diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang
berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim
(saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang
kesuciannya diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak
terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan
mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati mengetahui
bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut
sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang
yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh
syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan
kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh setan dan
harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah
15
pedang. Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpurapura
telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya
kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu.
Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama
agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa
mereka adalah abdi-abdi-Nya.
16
BAB 3 : Pengetahuan Tentang Dunia Ini
Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para
musafir di tengah perjalannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri
dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu. Jelasnya, di sini manusia
dengan menggunakan indera-indera jasmaniahnya, memperoleh sejumlah
pengetahuan tentang karya-karya Allah serta, melalui karya-karya tersebut,
tentang Allah sendiri. Suatu pandangan tentang-Nya akan menentukan
kebahagiaan masa-depannya. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh
manusia diturunkan ke alam air dan lempung ini. Selama indera-inderanya
masih tinggal bersamanya, dikatakan bahwa ia berada di "alam ini". Jika
kesemuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal,
dikatakan ia telah pergi ke "alam lain".
Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya.
Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan
pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana
ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke
dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa.
Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah,
sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana
seorang peziarah, dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya. Tetapi
jika sang peziarah menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan
menghiasi ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya dan ia akan mati di
padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja, hanya terdiri
dari tiga hal; makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tetapi nafsu-nafsu
jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk memenuhinya
cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh
dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas,
mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang
disebarkan oleh para nabi.
Sedangkan mengenai dunia yang mesti kita garap, kita dapati ia
terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah.
Produk-produk dari ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh manusia dan
telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan para penenun,
pembangun dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu memiliki banyak
cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu dan tukang besi.
Tidak ada daripadanya yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini
menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan seringkali
mengakibatkan kebencian, iri hari, cemburu dan lain-lain penyakit jiwa.
Karenanya timbullah pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan
pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.
Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi
semakin rumit dan menimbulkan kekacauan. Sebab utamanya adalah
17
manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya
tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada
hanya demi menjadikan jasad sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di
dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke dalam
kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju Makkah yang,
karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan
seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya. Seseorang
pasti akan terpikat dan terseibukkan oleh dunia - yang oleh Rasulullah
dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut dan Marut -
kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.
Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama, ia
berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan anda, sementara
nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari anda dan menyampaikan salam
perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi
kenyatannya selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya di
balik kedok nenek sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura
mencintai anda, menyayangi anda dan kemudian membelot kepada musuh
anda, meninggalkan anda mati merana karena rasa kecewa dan putus asa.
Isa a.s. melihat dunia terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua yang
buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang
dipunyainya, dan mendapat jawaban, jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya
lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah
memenggal mereka semua. "Saya heran", kata Isa a.s., "atas kepandiran
orang yang melihat apa yan gtelah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi
masih tetap menginginimu." Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian
indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dnegan cadar, kemudian
mulai merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya
menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah saw. Bersabda bahwa di
Hari Pengadilan, dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek sihir
yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang
melihat mereka akan berkata, "Ampun! Siapa ini?" Malaikat pun akan
menjawab, "Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta
saling merusakkan kehidupan satu sama lain." Kemudian wanita itu akan
dicampakkan ke dalam neraka sementara dia menjerit keras-keras, "Oh
Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?" Tuhan pun kemudian akan
memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah
lalu, akan melihat bahwa kehidupan ini seperti sebuah perjalanan yang
babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga (ukuran jarak, kira-kira sama
dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh saat.
Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia yang
berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencanarencana
untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi
tak pernah ia butuhkan, karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah
berada di bawah tanah.
Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangankesenangan
dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang
18
memenuhi perutnya dengan bahan makanan terpilih dan lezat, kemudian
memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak-enakannya
tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka nikmati - taman-taman,
budak-budak laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya - akan
makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu.
Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian, karena jiwa yan gtlah
menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan tetap akan menderita di
dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuasi.
Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa pada
mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang
dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya
sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa a.s. bersabda:
"Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak
minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak
terpuasi," Rasulullah saw. bersabda: "Engkau tak bisa lagi bercampur dengan
dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam
air tanpa menjadi basah".
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang
dan pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak, makanan dan
parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang
ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih pada
tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya tamu-tamu yang tolol mencoba untuk
membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat semua itu
direnggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan
kecewa dan malu.
Akan kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek
berikut ini. Misalkan sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang
berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan
berhenti selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di
pantai sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka
para penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun
demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan
bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yan gpaling nyaman di
dalamnya. Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu yang
agak lebih lama di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan
mendengarkan nyanyian burung-burung. Ketika kembali ke kapal mereka
temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi dan
terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman. Kelompok ketiga
berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna yang amat
indah, lalu membawanya kembali ke kapal. Keterlambatan itu memaksa
mereka untuk mendekam jauh di bagian paling rendah kapal itu, tempat
mereka dapati batu-batuan yang mereka bawa - yang ketika itu telah
kehilangan segenap keindahannya - mengganggu mereka di perjalanan.
Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa dijangkau
lagu oleh suara kapten kapal yang memanggil mereka untuk kembali ke
kapal. Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar tanpa mereka.
19
Meraka luntang-lantung dalam keadaan tanpa harapan dan akhirnya mati
kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.
Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman yang sama sekali
menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok yang terakhir adalah kelompok
orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak
mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya adalah orangorang
yang masih mempunyai iman, tapi menyibukkan diri mereka, sedikit
atau banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.
Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat
bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti
ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke
dunia yang akan datang dan, meskipun amal-amal baiknya telah lampau,
efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah yang
menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini
termasuk "hal-hal yang baik", dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran,
"tidak akan hapus."
Ada hal-hal lainnya yang baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan,
pakaian dan lain sebagainya, yang oleh orang yang bijaksana digunakan
sekadarnya untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang. Bendabenda
lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiap kepada dunia ini
dan ceroboh tentang dunia lain, adalah benar-benar kejahatan dan
disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Dunia ini terkutuk dan
segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada
Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu."
20
BAB 4 : Pengetahuan Tentang Akhirat
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan siksaan-siksaan neraka yang akan
mengikuti kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan
Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal yang sering
terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan
neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya,
"Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula
terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang
takwa." Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang
membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui -
bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan
pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun
kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana
seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun
menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah
bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut
bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena
mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan
yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan
atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah
ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada
keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai
berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini
bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana
jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh,
memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada
telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan
sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya
jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu
ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah
lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan
jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia
mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika
jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang
kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan
senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia
agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan
pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu,
maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa
menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda,
"Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para
mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata
pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan
dan penyesalannya akan tak terperikan.
21
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa
manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa
rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh
lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana
yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali.
Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu
itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada
bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti
pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang
baik itu abadi." Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan
bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi
bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an
berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat
dari jalan yang lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk
ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia
bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan
kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana
Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan
datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak
perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam
diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari
bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika
mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah
kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang
dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan
ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita
lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua
keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada
dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah
jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak
termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya
bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu
menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas
esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orangorang
yang terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup,
bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia
atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orangorang
mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi
saw. diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang
terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang
diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para
pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka,
beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada
engkau."
22
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat
mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam
keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran,
muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah
mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun
kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusiamanusia
yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah
mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun
kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik
menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri,
anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia
akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah
membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi
dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan
menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari
kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah jembatan
yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir,
dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber
pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa
semua oran gkafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing
memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah
memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa
mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini
bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu
sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.
Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya,
seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain
sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun
tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi
orang-orang yang di dlam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka
pada dunia ini lebih daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat
eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari
siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah
menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?.
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan
tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika
perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian
kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya
dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia
bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk
melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah
terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia
direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka
mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepitingkepiting
eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang
yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke
dunia di balik kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan
23
melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainulyaqin)",
dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan
mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian
siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang
sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan
dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang,
terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta
terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki
kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya
- masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan
terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus
mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat
tinggal yan gia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk
mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang
hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat
tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orangorang
seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada
Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri
mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar
setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan
mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan
timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan
beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup
menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu
kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk
pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati
terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya
kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja
yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan
menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan
untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat
telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk
seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang
mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan
batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan
mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas
berikut ini. Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak
laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan
beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan
24
mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di
samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya,
ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di
dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu
jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai
perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia
ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu
gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat
oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada
hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk
mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan
dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi
jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat
pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh
tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara
berikut. Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama
beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran
batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa bendabenda
itu seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama.
"Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga
tinggi di tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan
mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena
menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri
bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang
tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batubatu
delima, Zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya.
Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan bendabenda
yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan
daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika
melalui duni aini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan
perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap -
yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional. Dalam tahap yang
pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak
punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terusmenerus
pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada
tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif,
terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh
alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau
kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap
yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu
sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan
diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan
dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan
sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab
25
dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran
ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa
dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang
berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis
dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran
yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu
tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta
gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia
mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak
pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi
seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran
malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan
di atas oleh al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua
tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu
bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang
jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki
keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh
nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa
neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakutnakuti
orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan
terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya.
Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini
yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda
sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada
kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya,
benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya
yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan
masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada,
maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa
diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-
Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu
kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan
misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau
tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya
anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang akan makan
makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah
meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri
dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya,
meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda
atau berbohong belaka. Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang
penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah
puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari
sakit." Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan
harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu. Atau jika seoran gperamal
26
berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah
obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh." Meskipun mungkin anda
sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan
mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.
Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat
dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan
orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang
penulis jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan
perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan,
maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang
demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu
Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika
anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita yang akan menderita
keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka
kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan
karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan
suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk
mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu
tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus
bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar
biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran Allah.
27
BAB 5 : Tentang Musik dan Tarian Sebagai Pembantu
Kehidupan Keagamaan
Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia
mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta
menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya. Harmoniharmoni
ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut
dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia
tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam
dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya. Pengaruh
musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati
- cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat
ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal
dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu
sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat
dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa
manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka berkata
bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam
spesiesnya. Jia ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai
cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar
proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau
suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk. Musik dan tarian, menurut
mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya
haram dala mkegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta
kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal
itu berarti ketaatan dan ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab
yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan
diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi
yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati
yan gdiperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta
dala mkegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika
hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan
menambahnya; karena itu, terlarang baginya. Sementara itu, jika
mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya
mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak
lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung
berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan. Watak
tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai
hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah
yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata
kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku
diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati
28
pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata,
"Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai
bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan
mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain,
dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya
dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya."
Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang
membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati
adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya
nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan
keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain
untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di dara
para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi
orang-orang kafir. Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan
kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan
keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud, nyanyian
penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak
diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa
yang hilang darimu." Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta,
seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya
halal.
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya
bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan
cinta yan glebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dean dengannya
mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani. Dalam
keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yan gdibakar dalam tungku,
dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh
sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi
sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani, sehingga mereka
kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan
kesadaran inderawinya.
Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian
mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa
Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk
ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: "Jalani puasa yang ketat
selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang
menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau
boleh ikut." Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum
seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi - meskipun mungkin telah
mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf - mesti dilarang oleh
syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu
hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.
29
Orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalamanpengalaman
ruhani para sufi, sebenarnya hanya mengakui kesempitan
pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja. Meskipun demikian, mereka
haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum
dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan
menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang
anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan. Karenanya
seorang bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman
tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab,
kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat
sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang
ini, tertulis dalam al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk
akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."
Sedang mengenai puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para
sufi - yang banyak orang merasa keberatan terhadapnya - mesti kita ingat
bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau
persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi - yang amat cinta pada
Allah - menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan
dan persekutuan dengan Dia. Demikian pula, "jalan-jalan buntuk yang gelap"
dipakai untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; "kecerahan wajah" untuk
cahaya keimanan; dan "mabuk" sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi.
Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:
Mungkin sudah kuatur anggur
beribu takaran
Tapi, sampai 'kau habis mereguknya
tiada kegembiraan kaurasakan
Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa kenikmatan
agama yang sejati taka akan bisa diraih lewat perintah resmi, tapi dengan
rasa tertarik dan keinginan. Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan
menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia
sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya. Jadi,
orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut
sangat terpengaruh - bahkan sampai mencapai ekstase - oleh bait-bait seperti
itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran. Onta sekalipun kadangkadang
terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya
sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya
tersungkur kelelahan.
Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair pada sufi berada
dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu
untuk Allah. Misalnya, ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari
kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya untuk Allah - yang
tak boleh berubah - melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya
sendiri. Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadangkadang
cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita
dan Dia.
30
Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa
sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syaikh
Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam
keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yan gpenuh dengan
batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya
berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu. Dalam kasuskasus
semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benarbenar
turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar
dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat
bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan
cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh
cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.
Keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan
emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat
dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas,
dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat al-
Qur'an, tetapi juga syair yang merangsang. Sementara orang keberatan
terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga al-Qur'an, pada kesempatankesempatan
seperti itu. Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an
dimaksudkan untuk membangkitkan emosi - seperti misalnya, perintah bahwa
seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan
sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh
menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat
peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat
seperti itu.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur'an,
dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah
sedemikian akrab dengan al-Qur'an, banyak di antaranya bahkan telah
menghafalnya, sehingga pengaruh pembacannya telah sedemikian
ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali. Seseorang tidak bisa selalu
mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan
syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan al-Qur'an
untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar
berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati
kami telah mengeras," berarti bahwa al-Qur'an telah kehilangan sebagian
pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya. Dengan alasan yang
sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah
agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena," katanya, "saya
khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban
kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."
Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik - sepreti seruling dan
genderang - secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata
masyarakat awam. Keagungan al-Qur'an tak pantas, meskipun sementara,
dikaitkan dengan hal-hal seperti ini. Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi
saw. memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis-penyanyi
yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk
31
menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti,
karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk
diperlakukan demikian. Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat al-Qur'an
dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan
mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang. Di
pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan barisbaris
syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan
seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh
penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri
sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu
keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk
menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut
"ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka. Dalam setiap hal, orang
yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benarbenar
berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaanperasannya.
Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh Juaid, ketika
mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa
menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase. Junaid
berkata kepadanya: "Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal
bersamaku lagi." Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk
menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian
kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat
tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.
Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam
itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada
pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang
ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat,
menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan memusatkan pikiran
mereka kepada Allah. Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu
yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakangerakan
apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi
jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase
murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya, dan
jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti
meletakkan sorbannya.
Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para
sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan
hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat
Tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi saw.
bersabda: "Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan
wataknya." Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal
tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan
menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat tidak
mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi saw. masuk, karena mereka
tidak menyukai praktek ini; tetapi di daerah-daerah yang mempunyai
kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa
32
tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya
kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana
yang paling baik.
33
BAB 6 : Pemeriksaan Diri dan Dzikir Kepada Allah
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa di dalam al-Qur'an Tuhan telah
berfirman, "Akan Kami pasang satu timbangan yang adil di Hari Perhitungan
dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah
menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan
melihatnya." Di dalam al-Qur'an juga tertulis, "Setiap jiwa akan melihat apa
yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitungan." Khalifah Umar pernah
berkata, "Tuntutlah pertanggungjawaban dari dirimu sebelum dituntut
pertanggungjawabanmu." Dan Tuhan berfirman, "Wahai kaum mukminin,
bersabar dan berjuanglah melawan nafsu-nafsumu dan kemudian
beristiqamahlah." Semua wali paham bahwa mereka datang ke dunia ini
untuk menyelenggarakan suatu lalu-lintas ruhaniah. Perolehan ataupun
kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka. Oleh karena itu,
mereka selalu menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka
yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Oleh
karena itu, hanya orang-orang bijaksana sajalah yang setelah shalat
subuhnya menghabiskan satu jam penuh untuk mengadakan perhitungan
ruhaniah dan berkata kepada jiwanya, "Wahai jiwaku, engkau hanya
mempunyai satu hidup. Tidak satu pun saat yang telah lewat bisa
dikembalikan, karena dalam perbendaharaan Allah jumlah nafas bagianmu
sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan telah berakhir, tidak
ada lagi lalu-lintas ruhaniah yang mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang
bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa
seakan-akan hidupmu telah kau habiskan sama sekali dan bahwa hari ini
adalah hari tambahan yang dianugerahkan kepadamu oleh rahmat Tuhan
Yang Maha Kuasa. Kekeliruan apa lagi yang lebih besar daripada menyianyiakannya?"
Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh jam-jam hidupnya
terjajar seperti satu deret lemari perbendaharaan. Pintu salah satu lemari itu
akan terbuka dan akan tampak penuh dengan cahaya. Hal itu mencerminkan
saat yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan. Hatinya akan dipenuhi
dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja
sudah akan membuat penghuni neraka melupakan api itu. Pintu lemari yang
kedua akan terbuka; di dalamnya gelap pekat dan dari dalamnya terpancar
bau tidak enak, yang menyebabkan setiap orang menutup hidungnya. Itu
mencerminkan saat-saat yang dihabiskan untuk berbuat maksiat. Ia akan
merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja
sudah akan segera membuat penghuni surga gelisah dan memohon rahmat.
Pintu lemari yang ketiga pun terbuka; di dalamnya tampak kosong, tak ada
cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipakai untuk
melakukan kebaikan maupun maksiat. Waktu itu ia akan merasa sangat
menyesal dan bingung laksana seorang yang memiliki harta banyak, tapi
menyia-nyiakannya atau membiarkannya lepas begitu saja dari
genggamannya. Jadi, seluruh rangkaian saat-saat hidupnya akan
dipertunjukkan satu demi satu di depan matanya. Lantaran itu, seseorang
mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi: "Allah telah memberimu khazanah
34
dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun
di antaranya, karena engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang
akan mengikuti kerugian seperti itu."
Para wali telah berkata, "Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda
yang menyia-nyiakan kehidupan, anda tidak akan bisa mencapai tingkatan
orang-orang saleh dan mesti akan menyesali kerugian anda. Oleh karena itu,
awasilah dengan ketat lidah anda, mata anda dan segenap anggota rubuh
anda, karena masing-masing daripadanya mungkin menjadi pintu gerbang
menuju neraka. Ucapkanlah pada badan anda, 'Jika engkau memberontak,
sesungguhnya aku akan menghukummu' karena meskipun badan itu keras
kepala, ia mampu menerima perintah dan bisa dijinakkan dengan
keprihatinan." Itulah tujuan pemeriksaan diri, dan Nabi saw. telah berkata,
"Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan amal-amal yang
akan memberikan keuntungan baginya setelah mati."
Sekarang sampailah kita pada dzikrullah yang berarti ingatnya seseorang
bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya. Orang-orang hanya
melihat penampilan luar, sementara Allah melihat keduanya; yang di luar
maupun yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai
hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya. Jika
ia menyangkal hal ini, maka ia adalah seorang kafir; dan jika sementara
mempercayainya dia bertindak bertentangan dengan kepercayaannya itu,
maka dia telah melakukan kesalahan berupa bersikap angkuh yang paling
parah.
Suatu hari seorang Habsy datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai
Rasulullah, saya telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah tobat saya bisa
diterima?" Nabi menjawab, "Ya." Kemudian sang Habsy berkata, "Wahai
Rasulullah, setiap saya melakukan dosa, adakah Tuhan benar-benar
melihatnya?" "Ya," jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan
kemudian jatuh tak sadar. Sebelum seseorang benar-benar yakin akan
kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam pengamatan Allah, tidak mungkin
ia bertindak di jalan yang benar.
Seorang Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih
dari yang lain, sehingga membangkitkan rasa iri mereka. Suatu hari sang
Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan
mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang
bisa melihat. Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh unggasnya di
tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh
yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan
hidup seraya berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena
Allah selalu melihatku di mana-mana." Sang Syaikh pun berkata kepada
muridnya yang lain, "Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah
mencapai tingkat selalu mengingati Allah."
Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke atas wajah berhala
yang biasa disembanya. Yusuf berkata kepadanya, "Wahai Zulaikha, engaku
malu di hadapan seonggokan batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan
35
Dia yang menciptakan tujuh langit dan bumi." Satu kali seseorang datang
kepada Wali Junaid dan berkata, "Saya tidak bisa menahan pandangan mata
saya dari melihat hal-hal yang menggairahkan. Apa yang mesti saya
perbuat?" Jawab Junaid, "Dengan mengingat bahwa Allah melihatmu jauh
lebih jelas daripada kamu melihat orang lain." Di dalam hadits qudsi tertulis
bahwa Allah berfirman, "surga itu bagi orang-orang yang sempat berkeinginan
untuk mengerjakan dosa tapi kemudian ingat bahwa mataKu ada di atas
mereka dan kemudian mereka menahan diri."
Abdullah bin Dinar meriwayatkan, bahwa suatu kali ia berjalan bersama
Khalifah Umar di dekat Makkah ketika bertemu seorang anak laki-laki
penggembala sedang menggembalakan sekawanan domba. Umar berkata
kepadanya, "Juallah seekor domba padaku." Anak laki-laki itu menjawab,
"Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku." Kemudian untuk
mengujinya, Umar berkata, "Engkau kan bisa berkata kepadanya bahwa
seekor srigala telah menyambar salah satu di antaranya, dan dia tidak akan
tahu apa-apa mengenai hal itu?" "Tidak, memang dia tak akan tahu," kata
anak itu, "tapi Allah akan mengetahuinya." Umar pun menangis dan
mendatangi majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan kemudian
membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di
dunia ini akan akan membuatmu bebas pula di akhirat."
Ada dua tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan PERTAMA adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya
seluruhnya terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama
sekali tidak menyisakan lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain. Inilah
tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan
anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga
mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka
ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosadosanya.
Terhadap zikir seperti inilah Nabi saw. berkata, "Orang yang bangun
dipagi hari hanya dnegan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan
menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan
Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan
mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyunghuyung
seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan bahwa
suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan
perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya
mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab,
'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.' Saya berkata, 'Tidakkah anda
kesepian?" 'Tidak,' jawabnya, 'Allah dan dua malaikat bersama saya.'
Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, 'Mana di antara
mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?' 'Orang yang telah
ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,' jawabnya. Kemudian saya bertanya,
'Jalan ini datang dari mana?" Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan
matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, "Ya Rabbi,
banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
36
Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri
sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di
tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar
mempraktekkan ketenangan tafakur seperti itu?" Tsauri menjawab, "Dari
seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lobang tikus dengan sikap
yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur
seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam
dzikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk
dengan wajah menghadap ke Makkah. Saya mengucapkan salam kepada
mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata, "Saya meminta
dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya." Yang lebih
muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, dunia ini
hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu
hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami
dengan menuntut agar kami membalas salam anda." Ia kemudian
menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan
haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa
diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian
meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda menjawab,
"Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk
memberikan nasehat." Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak
satu patah kata pun terlontar dari kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian
saya berkata dalam hati, "Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah,
untuk memberi saya beberapa nasehat." Yang muda mengkasyaf pikiran
saya, kemudian sekali lagi mengangkat kepalanya, "Pergi dan carilah
seseorang yang dengan mengunjunginya akan membuat anda mengingati
Allah, dan menanamkan rasa takut akan Dia di dalam hati anda, dan yang
akan memberi anda nasehat melalui diamnya, bukan lewat cakapnya."
Itu semua adalah zikir para wali, yaitu berada dalam keadan terserap
keseluruhan dalam perenungan akan Allah.
Tingkatan KEDUA dari dzikrullah adalah zikir "golongan kanan" (ashabul-
Yamin). Orang-orang ini sadar bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
tentang mereka dan merasa malu dalam kehadiranNya. Meskipun demikian,
mereka tidak larut dalam pikiran tentang keagungan-keagunganNya,
melainkan tetap sepenuhnya sadar diri. Keadaan mereka seperti seseorang
yang tiba-tiba terperangah di dalam keadaan telanjang dan dengan terburuburu
menutupi dirinya. Kelompok tingkatan pertama tadi menyerupai
seseorang yang tiba-tiba mendapati dirinya di hadapan seorang raja dan
merasa bingung serta kaget. Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan
teliti semua hal yang terlintas dalam pikiran mereka, karena pada hari akhir
tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan dengan setiap tindakan: kenapa
engkau melakukannya?; bagaimana kamu melakukannya; apa tujuanmu
melakukannya? Yang pertama ditanyakan karena seorang semestinya
bertindak berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan
atau badaniah belaka. Jika pertanyaan ini dijawab dengan baik, maka
pertanyaan kedua akan menguji tentang bagaimana pekerjaan itu dilakukan
37
secara bijaksana atau ceroboh dan lalai. Dan yang ketiga, pekerjaan itu
dilakukan hanya demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh pujian
manusia. Jika seseorang memahami arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan
menjadi sangat awas terhadap kadaan hatinya dan terhadap bagaimana ia
berpikiran sebelum akhirnya bertindak. Memperbedakan pikiran-pikiran itu
adalah hal yang sulit dan musykil dan orang yang tidak mampu melakukannya
mesti mengaitkan dirinya pada seorang pengarah ruhani yang bisa menerangi
hatinya. Ia mesti benar-benar menghindar dari orang-orang terpelajar yang
sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah berfirman kepada
Daud a.s. "Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang-orang terpelajar yang
teracuni oleh cinta dunia, karena ia akan merampok kecintaanKu darimu."
Dan Nabi saw. bersabda, "Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti
soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh
nafsunya." Nalar dan pembedaan berkaitan erat, dan orang yang di dalam
dirinya nalar tidak mengendalikan nafsu tidak akan cermat melakukan
penyelidikan.
Di samping beberapa peringatan tentang penelitian sebelum bertindak,
seseorang juga mesti dengan ketat menuntut pertanggungjawaban dirinya
atas tindakan-tindakan masa lampaunya. Setiap malam ia mesti memeriksa
hatinya berkenaan dengan apa yang telah ia kerjakan., demi melihat telah
beruntung ataukah merugi ia dalam modal ruhaninya. Inilah yang lebih
penting, karena hati itu seperti rekanan dagang yang khianat yang selalu siap
untuk menipu dan mengelabui. Kadang-kadang ia menampakkan perasaan
mementingkan-diri-sendirinya dalam bentuk ketaatan kepada Allah
sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia telah beruntung
padahal sebenarnya ia merugi.
Seorang wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun, menghitung harihari
dalam hidupnya dan ia dapati bahwa hari-harinya itu berjumlah 21.600
hari. Ia berkata kepada dirinya sendiri, "Celaka aku, sekiranya aku melakukan
satu dosa saja setiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri dari
timbunan 21.600 dosa?" Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orangorang
datang untuk membangunkannya, mereka dapati ia telah mati.
Tetapi sebagian besar manusia bersifat lalai dan tidak pernah berfikir untuk
meminta pertanggungjawaban dirinya sendiri. Jika bagi setiap dosa yang
dilakukannya, seseorang menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah
kosong, segera saja akan ia dapati rumah itu penuh dengan batu. Jika
malaikat pencatat menuntut upah darinya bagi pekerjaan menuliskan dosadosanya,
maka semua uangnya akan cepat sirna. Orang menghitung biji
tasbih dengan rasa puas diri setiap kali mereka selesai menyebut nama Allah,
tetapi mereka tidak mempunyai tasbih untuk menghitung kata-kata sia-sia
yang tak terbilang banyaknya yang telah mereka ucapkan. Oleh karena itu,
Khalifah Umar berkata, "Timbang benar-benar kata-kata dan tindakantindakanmu
sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti." Ia
sendiri sebelum beristirahat pada setiap malamnya biasa memukul kakinya
dengan disertai rasa ngeri kemudian berseru, "Apa yang telah kau lakukan
hari ini?" Abu Thalhah suatu kali shalat di sebuah kebun korma ketika
menampak seekor burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung
38
jumlah sujud yang telah dilakukannya. Untuk menghukum dirinya karena
kelalaiannya ini, ia memberikan kebun kormanya kepada orang lain. Wali-wali
seperti itu tahu bahwa sifat inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh
karena itu mereka mengawasi dengan ketat dan menghukumnya untuk setiap
kesalahan yang dilakukannya.
Jika seseorang mendapati dirinya bebal dan menolak sikap cermat dan
disiplin diri, ia mesti selalu bersama-sama dengan seseorang yang cakap
dalam praktek-praktek seperti itu agar ia tertulari entusiasme sang ahli
tersebut. Seorang wali biasa berkata, "Jika saya ogah-ogahan dalam
melakukan disiplin diri, saya menatap Muhammad ibn Wasi, dan
memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat saya, paling
tidak untuk seminggu." Jika seorang tidak bisa menemukan teladan sikap
cermat seperti itu di sekitarnya, maka baik baginya utnuk mempelajari
kehidupan para Wali. Ia juga mesti mendorong jiwanya!
"Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu
sebetulnya kau ini apa? Kau persiapkan pakaianmu untuk menutupi dirimu
dari gigitan musim dingin, tapi tidak kaupersiapkan diri untuk akhiratmu.
Keadaanmu seperti seseorang yang di tengah musim dingin berkata, 'Saya
tak akan mengenakan pakaian hangat, tetapi percaya pada rahmat Tuhan
untuk melindungi saya dari dingin.' Ia lupa bahwa bersamaan dengan
menciptakan dingin, Allah menunjuki manusia cara membuat pakaian untuk
melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu.
Ingatlah juga, wahai diri, bahwa hukumanmu di akhirat bukan karena Allah
marah pada ketidaktaatanmu, dan jangan berpikir: "Bagaimana mungkin dosa
saya mengganggu Allah?" Nafsumu sendirilah yang akan menyalakan
kobaran neraka dalam dirimu. Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang
menimbulkan penyakit pada tubuh orang itu, bukan karena dokter jengkel
kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
"Celakalah 'kau, wahai diri, karena cintamu yang berlebihan kepada dunia!
Jika kau tidak percaya pada surga dan neraka, bagaimana mungkin kau
percaya pada mati yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu
dan menyebabkan kau menderita oleh perpisahan itu sebanding dengan
keterikatanmu pada kenikmatan duniawi itu. Kenapa kau dicipta setelah
dunia? Jika semuanya, dari timur sampai barat, adalah milikmu dan
menyembahmu, toh dalam waktu singkat semuanya itu akan menjelma
menjadi debu bersama dirimu, dan pemusnahan akan menghapuskan
namamu sebagaimana raja-raja sebelummu. Tetapi sekarang, mengingat
bahwa kau hanyalah memiliki sebagian sangat kecil dari dunia ini dan itu pun
bagian yang kotor daripadanya, akankah kau begitu gila untuk menukar
kebahagiaan abadi dengannya, permata yang mahal dengan sebuah gelas
pecah yang terbuat dari lempung dan menjadikan dirimu bahan tertawaan
orang-orang di sekitarmu?"
39
BAB 7 : Perkawinan Sebagai Pendorong atau Penghalang
Dalam Kehidupan Keagamaan
Perkawinan memainkan peran yang besar dalam kehidupan manusia,
sehingga ia perlu diperhitungkan dalam membahas soal kehidupan
keagamaan dan dibicarakan dalam dua aspeknya, yaitu keuntungan dan
kerugiannya.
Mengetahui bahwa Allah, sebagaimana kata al-Qur'an, "Hanya menciptakan
manusia dan jin untuk beribadah," maka keuntungan yang pertama dan nyata
dalam perkawinan adalah bahwa para penyembah Allah menjadi makin
banyak jumlahnya. Oleh karena itu, para ahli ilmu kalam telah menyusun
seuntai pepatah: lebih baik tersibukkan dalam tugas-tugas perkawinan
daripada dalam ibadah-ibadah sunnah. Keuntungan lain daripada perkawinan
adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi: "Doa anak-anak bermanfaat bagi
orang tuanya jika orang tuanya itu telah meninggal, dan anak-anak yang
meninggal sebelum orang tuanya akan memintakan ampun bagi mereka di
Hari Pengadilan." Sabda Nabi pula: "Ketika seorang anak diperintahkan untuk
masuk surga, dia menangis dan berkata, "Saya tak akan memasukinya tanpa
ayah dan ibu saya." Juga, suatu hari Nabi dengan keras menarik lengan baki
seseorang ke arah dirinya sambil bersabda, "Demikianlah anak-anak akan
menarik orang tuanya ke surga." Beliau menambahkan, "Anak-anak
berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang surga dan menjerit memanggil
ayah dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada di luar diperintahkan
untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka."
Diriwayatkan dari seorang Wali yang termasyhur bahwa suatu kali ia
bermimpi bahwa Hari Pengadilan telah tiba. Matahari telah mendekat ke bumi
dan orang-orang mati karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian
kemari memberi mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika
sang Wali meminta air, ia ditolak, dan salah seorang anak itu berkata
kepadanya, "Tidak salah seorang pun di antara kami ini anak-anak anda."
Segera setelah sang Wali bangun ia berencana untuk kawin.
Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap
baik terhadap istri adalah suatu perbuatan yang memberikan rasa santai
kepada pikiran setelah asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Dan
setelah santai seperti itu seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat
baru. Demikianlah Nabi saw. sendiri, ketika merasakan beban turunnya
wahyu menekan terlalu berat atasnya, ia menyentuh istrinya Aisyah dan
berkata: "Berbicaralah padaku wahai 'Aisyah, berbicaralah padaku!"
Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa
mendapatkan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan
yang sama ia biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan
kadang-kadang ia juga membaui wawangian yang harum. Salah satu
haditsnya yang terkenal adalah: "Saya mencintai tiga hal di dunia ini:
wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan shalat." Suatu kali Umar
bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di
40
dunia ini. Beliau saw. menjawab: "Lidah yang selalu berzikir kepada Allah,
hati yang penuh rasa syukur dan istri yang amanat."
Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara
rumah, memasak makanan, mencuci piring, menyapu lantai dan sebagainya.
Jika seoran glaki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa
mencari ilmu, menjalankan perdagangannya atau melakukan ibadahibadahnya
dengan sepatutnya. Untuk alasan ini Abu Sulaiman berkata: "Istri
yang baik bukan saja rahmat di dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia
memberikan waktu senggang kepada suaminya untuk berpikir tentang
akhirat." Dan salah satu di antara ucapan Khalifah Umar adalah: "Setelah
iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai istri yang baik."
Tambahan lagi, perkawinan masih memiliki keuntungan yang lain, yaitu
bersikap sabar dengan tetek-bengek kewanitaan - memberikan kebutuhankebutuhan
istri dan menjaga mereka agar tetap berada di jalan hukum -
adalah suatu bagian yang amat penting dari agama. Nabi saw. bersabda;
"Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada memberi sedekah."
Suatu kali, ketika Ibnu Mubarak sedang berpidato di hadapan orang-orang
kafir, salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya: "Adakah pekerjaan lain
yang lebih memberikan ganjaran daripada jihad?" "Ya," jawabnya, "Yaitu
memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya."
Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata: "Lebih baik bagi seseorang
untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri." Di dalam
hadits diriwayatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan
menanggung beban keluarga.
Berkenaan dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan
ia tak bermaksud kawin lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata
bahwa dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan
pikirannya di dalam uzlah. Pada suatu malam ia melihat dalam mimpinya
pintu surga terbuka dan sejumlah malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah
satu di antara mereka bertanya: "Inikah orang yang celaka yang egois itu?"
dan rekan-rekannya menjawab: "Ya, inilah dia." Wali itu sedemikian
terperangahnya sehingga tidak sempat bertanya tentang siapakah yang
mereka maksud. Tetapi tiba-tiba seorang anak laki-laki lewat dan ia pun
bertanya kepadanya. "Andalah yang sedang mereka bicarakan," jawab sang
anak, "baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di surga
bersama dengan wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah
menghapuskan nama anda dari buku catatan itu." Setelah terjaga dengan
pikiran penuh tanda tanya, dia pun segera membuat rencana untuk kawin.
Dari semua hal di atas, tampak bahwa perkawinan memang diinginkan.
Sekarang akan kita bicarakan kerugian-kerugian perkawinan. Salah satu di
antaranya adalah adanya suatu bahaya, khususnya di masa sekarang ini,
bahwa seorang laki-laki mesti mencari nafkah dengan sarana-sarana yang
haram untuk menghidupi keluarganya, padahal tidak ada perbuatanperbuatan
baik yang bisa menebus dosa ini. Nabi saw. bersabda bahwa pada
Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang membawa tumpukan perbuatan baik
41
setinggi gunung dan menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia ditanya;
"Dengan cara bagaimana engkau menghidupi keluargamu?" Ia tak bisa
memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua perbuatan baiknya pun
akan dihapuskan dan suatu pernyataan akan dikeluarkan berkenaan
dengannya: "Inilah orang yang keluarganya telah menelan semua perbuatan
baiknya!"
Kerugian lain dari perkawinan adalah bahwa memperlakukan keluarga
dengan baik dan sabar dan menyelesaikan masalah-masalah mereka hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar
jika seorang laki-laki memperlakukan keluarganya dengan kasar atau
mengabaikan mereka, sehingga menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri. Nabi
saw. bersabda: "Seseorang yang meninggalkan istri dan anak-anaknya
adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia kembali kepada mereka, puasa
dan shalatnya tidak akan diterima oleh Allah." Ringkasnya, manusia memiliki
sifat-sifat rendah, dan sebelum ia bisa mengendalikan sifatnya itu, lebih baik
ia tidak memikul tanggungjawab utnuk mengendalikan orang lain. Seseorang
bertanya kepada Wali Bisyr Hafi, kenapa ia tidak kawin. "Saya takut," ia
menjawab, "akan ayat al-Qur'an: 'hak-hak wanita atas laki-laki persis sama
dengan hak-hak laki-laki atas wanita'."
Kerugian ketiga dari perkawinan adalah bahwa mengurus sebuah keluarga
seringkali menghalangi seseorang dari memusatkan perhatiannya kepada
Allah dan akhirat. Dan boleh jadi, kecuali kalau ia berhati-hati, hal itu akan
menyeretnya kepada kehancuran, karena Allah telah berfirman: "Janganlah
istri-istri dan anak-anakmu memalingkanmu dari mengingat Allah." Orang
yang berpikir, bahwa dengan tidak kawin ia bisa memusatkan perhatiannya
lebih baik pada kewajiban-kewajiban keagamaannya, lebih baik ia tetap
sendirian; dan orang-orang yang takut untuk terjatuh ke dalam dosa jika ia
tidak kawin, lebih baik ia kawin.
Sekarang kita sampai pada sifat-sifat yang mesti dicari dalam diri seorang
istri. Pertama, yang paling penting di antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika
seseorang mempunyai istri yang berakhlak tidak-baik dan ia tetap diam, ia
mendapatkan nama jelek dan terhambat kehidupan keagamaannya. Jika ia
angkat bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia ceraikan istrinya, ia akan
menderita kepedihan perpisahan. Seorang istri yang cantik tapi berakhlak
buruk adalah bencana yang sedemikian besar, sehingga lebih baik bagi
suaminya untuk menceraikannya. Nabi saw. bersabda; "Orang yang mencari
istri demi kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya."
Sifat baik kedua dalam diri seorang istri adalah tabiat yang baik. Istri yang
bertabiat buruk - tidak berterima kasih, suka bergunjing atau angkuh -
membuat hidup tak tertanggungkan dan merupakan halangan besar untuk
menjalin kehidupan takwa.
Sifat ketiga yang harus dicari adalah kecantikan, karena hal ini akan
menimbulkan cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, seseorang mesti
melihat seorang wanita sebelum mengawininya. Nabi saw. bersabda;
"Wanita-wanita dari suku ini dan itu memiliki cacat di mata-mata mereka.
42
Seorang yang ingin mengawini seseorang di antara mereka mesti melihatnya
dulu." Orang bijak berkata bahwa seseorang yang mengawini seorang wanita
tanpa melihatnya lebih dulu, pasti akan menyesal kelak. Memang benar
bahwa seseorang tidak seharusnya kawin demi kecantikan, tetapi hal ini tidak
berarti bahwa kecantikan mseti dianggap tidak penting sama sekali.
Hal penting keempat tentang seorang istri adalah bahwa besarnya mahar
dibayarkan oleh seorang laki-laki kepada istrinya mesti dalam jumlah
pertengahan. Nabi saw. bersabda: "Wanita yang paling baik untuk diperistri
adalah yang maharnya kecil dan nilai kecantikannya besar." Beliau sendiri
memberi mahar kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan
mahar putri-putri beliau sendiri tidak lebih daripada empat ratus dirham.
Sifat-sifat lain yang harus dimiliki seorang istri yang baik adalah: berasal dari
keturunan baik-baik, belum kawin sebelumnya dan tidak terlalu dekat dalam
hubungan kekeluargaan dengan suaminya.
Hal-hal yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan
Pertama; karena perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia
mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara
laki-laki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antar hewan.
Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap
perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf merayakan perkawinannya Nabi
saw. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya
dengan seekor kambing." Ketika Nabi saw. sendiri merayakan perkawinannya
dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta perkawinan dan menghidangkan
kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya dimeriahkan
dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia adalah
mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami istri mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini
tidak berarti bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya
menanggung dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan
oleh istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap
tidak-berterimakasihnya. Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan
perlindungan; karenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus
dilindungi. Nabi saw. bersabda: "Seseorang yang mampu menanggung
ketidakenakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan
memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s. atas kesabarannya
menanggung bala (ujian) yang menimpanya." Pada saat-saat sebelum
wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw. bersabda: "Teruslah berdoa dan
perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawanantawananmu."
Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku
istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, ia berkata
kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?" Istrinya
menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istriistrinya
saja mendebatnya." Ia menjawab: "Celakalah Hafshah (Purti Sayidina
Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri." Dan ketika ia
berjumpa Hafshah, ia berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul." Nabi
43
saw. juga berkata: "Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya
kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap
keluargaku."
Ketiga; seorang suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan
kesenangan-kesenangan istrinya dan tidak mencoba menghalanginya. Nabi
saw. sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah.
Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan 'Aisyah dan pada kali kedua,
'Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia
bisa melihat beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah
untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istriistrinya
seperti yang dilakukan Nabi saw. Orang-orang bijak berkata:
"Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang
tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia." Meskipun demikian,
ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya.
Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak
boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan
menjadi sekadar bahan tertawaan saja. Dalam al-Qur'an tertulis: "Laki-laki
adalah pemimpin bagi wanita," dan Nabi saw. berkata: "Celakalah laki-laki
yang menjadi budak istrinya." Seharusnya istrinyalah yang menjadi
pelayannya. Orang-orang bijak berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan
berbuatlah yang bertentangan dengan apa yang mereka nasehatkan."
Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri wanita; dan jika mereka
diizinkan meskipun sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan
sulitlah untuk mengembalikannya kepada sikap yang baik. Dalam urusan
dengan mereka, seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara
ketegasan dan rasa kasih sayang dengan kasih sayang sebagai bagian yang
lebih besar. Nabi saw. berkata: "Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga
yang bengkok. Jika kaucoba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika
kau biarkan demikian, ia akan tetap bengkok. Karena itu perlakukanlah ia
dengan penuh kasih sayang."
Keempat; dalam hal pelanggaran susila, seorang suami harus sangat berhatihati
agar tidak membiarkan istrinya dipandang atau memandang seorang
asing, karena awal dari seluruh kerusakan itu adalah dari mata. Sebisabisanya
jangan izinkan ia untuk keluar rumah, berdiri di loteng rumah atau
berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti hati-hati agar tidak cemburu
tanpa alasan dan bersikap terlalu ketat. Suatu hari Nabi saw. bertanya
kepada anaknya, Fathimah: "Apakah yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab:
"Mereka tidak boleh menemui orang-orang asing, tidak pula orang-orang
asing boleh menemui mereka." Nabi saw. senang mendengar jawaban ini dan
memeluknya seraya berkata; "Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari
hatiku." Amirul Mu'minin Umar berkata: "Jangan memberi wanita pakaianpakaian
yang baik, karena segera setelah mereka mengenakannya mereka
berkeinginan untuk keluar rumah." Pada masa hidup Nabi, wanita-wanita
diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara
bertahap hal ini dilarang.
Kelima; seorang suami mesti memberi nafkah secukupnya kepada istrinya
dan tidak bersifat kikir kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada
44
istri lebih baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: "Misalkan
seorang laki-laki menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar lagi
untuk menebus seorang buda, satu dinar lagi untuk sedekah dan memberikan
satu dinar juga kepada istrinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini
melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya."
Keenam; seorang suami tidak boleh makan sesuatu yang lezat sendirian;
atau kalaupun ia telah memakannya, ia mesti diam dan tidak memujinya di
depan istrinya. Jika tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk
makan bersama, karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan hal itu,
Allah menurunkan rahmatNya atas mereka dan para malaikat pun berdoa
untuk mereka." Hal yang paling penting adalah bahwa nafkah yang diberikan
kepada istri itu harus didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika istri bersikap memberontak dan tidak taat, pertama sekali suami mesti
menasehatinya dengan lemah lembut. Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti
tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil, maka
suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula terlalu keras
hingga bisa melukainya. Jika istri lalai dalam tugas-tugas keagamaannya,
suami mesti menunjukkan sikap tidak senang kepadanya selama sebulan
penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.
Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena, meskipun
perceraian diizinkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai saja sudah
mengakibatkan penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana bisa
dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali
dilakukan, maka ucapan itu tidak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi
harus pada tiga waktu yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baikbaik,
tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak pula tanpa alasan.
Setelah perceraian, seorang laki-laki mesti memberikan pemberian (mut'ah)
kepada bekas istrinya, dan tidak menceritakan kepada orang lain alasanalasan
atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan istrinya sehingga mereka
bercerai. Dari seorang suami yang hendak menceraikan istrinya, diriwayatkan
bahwa orang-orang bertanya kepadanya: "Mengapa engkau
menceraikannya?" Ia menjawab: "Saya tak akan membongkar rahasiarahasia
istri saya." Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya
lagi dan berkata; "Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan
dengan soal-soal pribadinya."
Sejauh ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya, tetapi hak-hak suami
atas istrinya lebih mengikat lagi. Nabi saw. bersabda: "Jika saja dibolehkan
untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar para istri
menyembah suami-suami mereka."
Seorang istri tidak boleh menggembar-gemborkan kecantikannya di depan
suaminya, tidak boleh membalas kebaikan sang suami dengan perasaan
tidak terima kasih. Istri tidak boleh berkata kepada suaminya: "Kenapa
kauperlakukan aku begini dan begitu?" Nabi saw. bersabda: "Aku melihat ke
dalam neraka dan menampak banyak wanita di sana. Kutanyakan sebab45
sebabnya dan mendapat jawaban, karena mereka berlaku tidak baik kepada
suami-suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya."
46
BAB 8 : Cinta Kepada Allah
Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan
tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahayabahaya
ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati
manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang
diperlukan untuk itu. Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu
bahwa kecintaan kepada Allah mesti menaklukkanhati manusia dan
menguasainya sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak
menguasainya sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang
paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain.
Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah
sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan
sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang
bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan
kepada Allah sebagai sekedar ketaatan belaka. Orang-orang yang
berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu
sebenarnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban.
Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: "Ia mencintai
mereka dan mereka mencitaiNya." Dan Nabi saw. Bersabda, "Sebelum
seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia
tidak memiliki keimanan yang benar." Ketika Malaikat Maut datang untuk
mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat
seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah menjawabnya,
"Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat
kawannya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah,
berilah aku kecintaan kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang yang
mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu.
Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orangorang
yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang
mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan
membencinya."
Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan
sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini
tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita. Masing-masing indera
mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata
mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musk, dan seterusnya.
Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada
indera keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan
tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan
keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan
kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa memahami apa yang
dimaksud oleh Nabi saw. ketika bersabda bhwa ia mencintai shalat lebih
47
daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan
baginya. Tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan
dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan
luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan
berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggotaanggota
tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap
keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka
berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik. Tetapi
orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin
untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita -
seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar - berkenaan dengan sifat-sifat
mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali
bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk
luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin
membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita
tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan
kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka akan kita
dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak
mencintaiNya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenaliNya. Karena
alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw., karena ia adalah Nabi
dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bartakwa
adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat hal ini lebih
jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan
sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada
Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah
anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikanNya, manusia tidak akan
pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini.
Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali
tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari
perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan
tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama
sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan
maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab
itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan
terhadapNya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintaiNya, karna kecintaan
kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentangNya. Dan sejak
kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu
yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa
kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari
sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa
pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain,
48
apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah
yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang
sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan
kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada
cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan cinta yang
kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik
dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima
keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan
jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud,
"AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena
takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi
membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah
yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau
mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan
pantaskah Aku untuk disembah?"
Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan
Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya
Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri." Lebih
jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku
menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan
lidahnya." Juga Allah berfirman kepada Musa as.: "Aku pernah sakit tapi
engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb
langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah
seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah
mengunjungiKu."
Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk
diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang
awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam
membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan
Allah. Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan
Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di
atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud
yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan
mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang disyaratkan
di dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan
diriNya sendiri."
Menampak Allah
Semua muslim mengaku percaya bahwa menampak Allah adalah puncak
kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi bagi
banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka yang tidak
membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami saja, karena
bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui?
Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa menampak
Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.
49
Pertama sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin
dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulai dari nafsu badani
yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman intelektual.
Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun masih
memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu
jasmaniah. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan
catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin
tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia. Misalnya,
kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja
daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa Allah adalah
obyek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti
akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang
yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah
berada di surga "yang luasnya seluas langit dan bumi"; surga yang buahbuahnya
sedemikian nikmat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa
mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit
oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.
Tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmatnya
penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam melamunkan orangorang
yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan
oleh penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad
yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukankita dengan ihwal
inderawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari menampak
Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa
pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa
di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihatKu."
Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Sebagaimana benih manusia
akan menjadi seorang manusia dan biji korma yang ditanam akan menjadi
pohon korma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan
menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan orang yang tak
pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah mengalami
penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang
yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai dengan
pengetahuan mereka. Tuhan itu satu, tetapi Ia akan terlihat dalam banyak
cara yang berbeda, persis sebagaimana suatu obyek tercerminkan dalam
berbagai cara oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan
yang lurus, ada pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainny akabur.
Sebuah cermin mungkin telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat
bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin membawa
sebuah hati yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga
penglihatan yang bagi orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan
kedamaian, baginya malah menjadi sumber kesedihan. Seseorang yang di
hatinya cinta terhadap Tuhan telah mengungguli yang lain akan menghirup
lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di
hatinya cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia
yang sama memiliki pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk
wajah yang cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan
lebih berbahagia dalam menatapnya daripada orang yang tidak mencinta.
50
Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai
cinta belumlah cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia
sebelum ia disucikan dari cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan
dengan zuhud. Ketika berada di dunia ini, keadaan manusia berkenaan
dengan menampak Allah adalah seperti seorang pencinta yang akan melihat
wajah kasihya di keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan
lebah dan kalajengking yang terus menerus menyiksanya. Tetapi jika
matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dalam segenap
keindahannya dan binatang berbisa berhenti menyiksanya, maka
kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang
setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di
dunia ini, melihatNya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata: "Orang yang sibuk
dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang
tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak."
Yahya Ibnu Mu'adz meriwayatkan bahwa ia mengamati Bayazid Bistami
dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid berdiri dan
berkata: "O Tuhan! Beberapa hamba telah meminta dan mendapatkan
kemampuan untuk membuat mukjizat, berjalan di atas permukaan air, terbang
di udara, tapi bukan semua itu yang kuminta; beberapa yang lain telah
meminta dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula yang kuminta."
Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya:
"Engkaulah yang di sanan itu Yahya?" Ia jawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Sejak
kapan?" "Sudah sejak lama." Kemudian Yahya memintanya agar
mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya. "Akan kuungkapkan",
jawab Bayazid, "apa-apa yang halal untuk diceritakan kepadamu." Yang
Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari yang paling mulia
hingga yang terenah. Ia mengangkatku ke atas 'Arsy dan KursiNya dan
ketujuh langit. Kemudian Ia berkata: 'Mintalah kepadaKu apa saja yang kau
ingini.' Saya jawab: 'Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.'
'Sesungguhnya,' kataNya, 'engkau adalah hambaKu."
Pada kali lain Bayazid berkata: "Jika Allah akan memberikan padamu
keakraban dengan diriNya atau Ibrahim, kekuatan dalam doa Musa dan
keruhanian Isa, maka jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja,
karena Ia memiliki khazanah-khazanah yang bahkan melampaui semuanya
ini." Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepadanya: "Selama tigapuluh
tahun aku telah berpuasa di siang hari dan bersembahyang di malam hari,
tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu sebut-sebut
itu." Bayazid menjawab: "Kalaupun engkau berpuasa dan bersembahyang
selama tigaratus tahun, engkau tetap tak akan mendapatinya." "Kenapa?"
tanya sang sahabat. "Karena," kata Bayazid, "perasaan mementingkan-dirisendirimu
telah menjadi tirai antara engkau dan Allah." "Jika demikian,
katakan padaku cara penyembuhannya." "Cara itu takkan mungkin bisa
kaulaksanakan." Meskipun demikian ketika sahabatnya itu memaksanya
untuk mengungkapkannya, Bayazid berkata: "Pergilah ke tukang cukur
terdekat dan mintalah ia untuk mencukur jenggotmu. Bukalah semua
pakaianmu kecuali korset yang melingkari pinggangmu. Ambillah sebuah
kantong yang penuh dengan kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar
dan berteriaklah: 'Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapatkan
51
buah kenari'. Kemudian dalam keadaan seperti itu pergilah ke tempat para
qadhi dan faqih." "Astaga!" kata temannya, "saya benar-benar tak bisa
melakukannya. Berilah cara penyembuhan yang lain." "Itu tadi adalah
pendahuluan yang harus dipenuhi untuk penyembuhannya," jawab Bayazid.
"Tapi, sebagaimana telah saya katakan padamu, engkau tak bisa
disembuhkan."
Alasan Bayazid untuk menunjukkan cara penyembuhan seperti itu adalah
kenyataan bahwa sahabatnya itu adalah seorang pengejar kedudukan dan
kehormatan yang ambisius. Ambisi dan kesombongan adalah penyakitpenyakit
yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti itu. Allah
berfirman kepada Isa: "Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hambaKu kecintaan
yang murni terhadap diriKu yang tidak terkotori dengan nafsu-nafsu
mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini atau dunia yang akan
datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu." Juga ketika orang-orang
meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia, ia menjawab:
"Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya." Wali Rabi'ah
pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. "Kecintaan kepada Sang Pencipta,"
katanya, "telah mencegahku dari mencintai mahluk." Ibrahim bin Adam dalam
doanya berkata: "Ya Allah, di mataku surga itu sendiri masih lebih remeh
daripada sebuah agas jika dibandingkan dengan kecintaan kepadaMu dan
kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kauanugerahkan kepadaku."
Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di
akhirat tanpa mencintai Allah, sudah terlalu jauh tersesat, karena inti
kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah
sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang sudah lama
didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang
banyaknya. Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak
memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di
dalamnya kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah sebelumnya sangat
kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di
masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah
sekarang.
Tetapi na'udzu billah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh suatu
kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaan
kehidupan akhirat akan saa sekali asing baginya. Dan apa-apa yang akan
membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.
Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia
pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika
membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya
dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk
(minyak wangi) ke hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah.
Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Ia
mendekatkan sampah ke hidung orang itu, maka orang itu segera sadar,
mendesah penuh kepuasan: "Wah, ini baru benar-benar wangi-wangian!"
Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan
cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu akan sama sekali baru
52
baginya dan malah akan meningkatkan kebobrokannya. Karena, akhirat
adalah suatu dunia ruh dan merupakan pengejawantahan dari keindahan
Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya dan tertarik
padanya. Semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian-pengkajian akan
menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti
dari ayat al-Qur'an: "Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia."
Dosa-dosa dan syahwat langsung bertentangan dengan pencapaian rasa
tertarik ini. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata: "Dan orang yang mengotori
jiwanya akan merugi." Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah
telah benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan
pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pencerapan
mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada
keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar
seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari
pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah
sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizatmukjizat,
seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular yang masih
mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang
dilakukan oleh para ahli sihir.
Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah
Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti
memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian
pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak
ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan
"teman"nya. Nabi saw. Berkata: "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun
ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas
mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan
persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat
persiapan-persiapan itu.
Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan
kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa
yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari
tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia
tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia
tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada
seseorang: "Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada
Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,'
maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: 'Ya, saya
mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."
Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap
segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai,
maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka
ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin
terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat
53
utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang
berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta
adalah sesuatu yang lain.
Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur'an yang
merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang
benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua
adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk,
karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta
dan tulisan tangannya.
Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan
ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa
berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai
bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti
itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.:
"Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang
menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan
dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan
orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada
mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku
meninggalkannya sendiri.
Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati
manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang
dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari.
Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu
di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar
dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah
memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah
mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan
kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun
terendahkan." Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan
kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat
dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak
mengetahuinya.
Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang
wali berkata: "Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah
malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah
menjadi suatu kesenangan bagiku." Jika kecintaan kepada Allah sudah
sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan
beribadah.
Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang
menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak
taat, sebagaimana kara al-Qur'an: "Mereka bersikap keras terhadap orang
kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya." Nabi saw pernah bertanya
kepada Allah: "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya
pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana
54
seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan
kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya;
dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor
macan marah yang tidak takut kepada apa pun."
55
Ringkasan
"Jika Anda menemui sesuatu kesulitan di dalam memahami tawasuf, bacalah
buku saya Kimia-i Sa'adat (Kimia Kebahagiaan) yang akan membimbing
Anda ke jalan yang benar, dan memberi Anda, sekurang-kurangnya, suatu
kesempatan yang adil untuk memanfaatkan kemamp0uan-kemampuan yang
dikaruniakan oleh Allah kepada Anda." Demikianlah Al-Ghazali menulis dalam
salah satu suratnya kepada Nizamuddin Fakhrul Mulk, wazir Seljuk.
Kimia Kebahagiaan adalah ringkasan dari karya monumental Al-Ghazali, Ihya
Ulumiddin, ditulis sendiri secara populer oleh beliau dalam bahasa Parsi, tidak
dalam bahasa Arab sebagaimana Ihya. Mengenai Ihya cukuplah kita kutipkan
di sini pendapat Muhaddits Zainuddin Iraqi: "sebagai seorang ulama, Al-
Ghazali telah berhasil meringkaskan dan kadang-kadang menjelaskan ajaranajaran
Al-Qur'an dan hadis, dalam karya abadinya ini yang, disamping Al-
Qur'an dan hadis, merupakan buku petunjuk praktis terakhir dan agama sejati
yang ada."
Buku kecil ini memuat delapan bagian dari naskah aslinya.
.
Sumber : www.isnet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar