بسم الله الرحمن الرحيم
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: هُمْ عِنْدِيْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
رواه الخطيب في شرف أصحاب الحديث (42) بسند صحيح
ILMU HADIS
Untuk Pemula
Oleh Amru Abdul Mun’im Salim
Judul : Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in
Penulis : Amr Abdul
Mun'im Salim
Penerbit : Maktabah Ibnu
Taymiyah, Kairo, Mesir
Tahun terbit : 1417 H – 1997 M
Penerjemah : Budi Prasetyo
Daftar Isi
Muqaddimah
Definisi Ulumul hadis
Definisi hadis, Khabar dan Atsar
Hadis Sahih
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Al-Mustakhraj terhadap Kitab ash-Shahihain
Sekilas tentang kitab-kitab Sunan
Soal-soal Diskusi
Hadis Hasan
Hadis Shahih Lighairihi
Hadis Dla'if
Pembagian Hadis Dla'if
Hadis Hasan Lighairihi
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if Karena Cacat pada Sanad
- Mursal
- Munqathi'
- Mu'dlol
- Mu'allaq
- Mudalas
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if karena Trrdapat Cacat pada 'Adalah rawi
- Hadis Maudlu'
- Hadis Matruk
- Pembahasan tentang Jahalah (Majhul)
- Hadis Mubham
- Pembahasan tentang Bid'ah
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if karena Kelemahan pada kedlabithab rawi
- Hadis Munkar
- Hadis Syadz
- Hadis Mudraj
- Hadis Mukhtalath
- Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
- Hadis Maqlub
- Hadis Mudltharib
Soal-soal Diskusi
Hadis Mu'allal
Hadis Musalsal
Marfu' Mauquf dan Maqthu'
Soal-soal Diskusi
Daftar Gambar
Gambar 1: Skema tentang Khabar, haadis dan atsar
Gambar 2 : Skema tentang pengelompokan hadis dari segi diterima atau
tidak
Gambar 3 : Skema hadis mursal
Gambar 4 : Skema hadis munqathi'
Gambar 5 : Skema hadis mu'dlal
Gambar 6 : Skema hadis mu'allaq
Gambar 7 : Skema keadaan hadis dilihat dari tidak dikenal (majhul)nya
rawi
Gambar 8 : Skema hadis 1) marfu', 2) hadis mauquf, dan 3) maqthu'
Muqaddimah
Bismillahirrahmanirrahim
Sesungguhnya,
segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon
ampunan-Nya, dan kami memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan diri
kita dan kejahatan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapat petunjuk
Allah, maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka tak akan ada yang kuasa menujukinya.
Aku
bersaksi bahwasannya tiada Ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya
Semoga
kesejahteraan dan keselamatan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad,
keluarga dan sahabat beliau.
Amma Ba’du
Sebagian
dari saudara-saudaraku seiman telah memintaku untuk menyusun sebuah materi Ilmu
Mushthalah Hadis yang lengkap tetapi singkat, yang isinya mencakup
batasan, kaidah dan aturan, serta adab, untuk membantu mereka di dalam memahami
istilah-istilah ahli hadis di dalam tulisan-tulisan mereka.
Setelah beristikharah, lalu saya memohon
pertolongan kepada Allah untuk menyusun apa yang mereka minta, dan
merealisasikan apa yang mereka harapkan. Saya melakukan ini semata-mata adalah
untuk mengharapkan ridla Rabbil Karim, dan dalam rangka mengamalkan sabda Nabi
saw,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang anak Adam
meninggal maka terputuslah amalnya kecuali karena tiga hal, shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya”[1]
Karena itulah saya memohon taufiq
dan petujuk kepada Allah swt, agar kiranya dihindarkan dari kesalahan dan
kekeliruan. Sesungguhnya Dia lah Ahlu taqwa dan Ahlu maghfirah, Walhamdulillahi
Rabbil Alamin
Penulis
Definisi Ulumul Hadis
Definisi
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدَ
الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِي
Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang
menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat)
dan marwi (materi yang diriwayatkan)[2]
Ada
pendapat lain yang menyatakan
هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ
السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Penjelasan Definisi
Sanad
adalah rangkaian rijal yang
menghantarkan kepada matan
Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Contoh-contoh
Al-Bukhari
meriwayatkan hadis berikut, di dalam kitabnya yang ber-nama ash-Shahih, Bab Kayfa
kana bad’ al-wahyi ila Rasulillah saw, j. 1, h. 5
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ
وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم
عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah
menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad
bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi
berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah
saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya
setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya
(diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan
Yang
dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْر،ِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم
عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ
Sedangkan matan pada hadis di atas adalah;
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan
antara hadis sahih dan dla’if.
Definisi Hadis, Khabar Dan Atsar
Definisi
الْحَدِيْثُ
مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَوَاءً كَانَ
قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Hadis adalah segala sesuatu
yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
ataupun sifat
الْخَبَرُ
مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ
أَصْحَابِهِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ
دُوْنَهُمْ
Khabar adalah segala sesuatu
yang datang dari Nabi saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in,
tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
الأَثَرُ مَا
جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الصَّحَابَةِ
أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Atsar adalah segala yang
datang selain dari Nabi saw, yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi
setelah mereka
Contah-contoh
Contoh
hadis qouly (perkataan)
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu
dengan niat
Contoh
hadis fi’ly (perbuatan) adalah hadis dari Aisyah ra.
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ
جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
Nabi saw apabila akan tidur,
sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau berwudlu seperti wudlu untuk
shalat
Contoh
hadis taqriry (persetujuan) adalah hadis dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ
خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْناً
وَأَضْبًا وَأَقْطاً فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ مِنَ الْأَقْطِ وَتَرَكَ
الْأَضْبَ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَلَوْ كَانَ حَرَاماً مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa bibinya memberi hadiah
kepada Rasulullah saw berupa mentega, daging biawak dan keju, lalu beliau
memakan mentega dan keju dengan meninggalkan daging biawak karena merasa jijik,
tetapi daging itu dimakan di meja makan rasulullah saw, seandainya haram maka
tak akan dimakan di meja Rasulullah saw
Contoh
hadis sifat, yaitu hadis yang memuat sifat pribadi nabi saw, adalah hadis dari
Anas ra;
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ
وَلاَ بِالْقَصِيْرِ حَسَنُ الْجِسْمِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ
سَبْطٍ أَسْمَرُ اللَّوْنِ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ
Rasulullah itu tingginya
sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tubuhnya bagus, rambutnya tidak keriting
dan tidak lurus, warnanya coklat, apabila berjalan rambutnya bergoyang.
|
Hadis Sahih
Definisi
Hadis Shahih
هُوَ
الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ
الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang
musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir
sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.[4]
Untuk
memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadis sahih
adalah hadis yang mengandung syarat-syarat berikut;
1.
Hadisnya musnad
2.
Sanadnya bersambung
3.
Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4.
Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadis tersebut dinisbahkan kepada nabi saw
dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di
depan.
Sanadnya bersambung,
bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung
dari gurunya
Para
rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam sanad itu memiliki
sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil dan dhabith?
Adil adalah sifat
yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta
menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah[5].
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal
hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia
akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari
gurunya Dlabith ini ada dua macam, yaitu;
1.
Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah
didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang
sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun
dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya[6].
2.
Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi
tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang telah didengarnya dari
salah seorang atau beberapa gurunya,
dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan
hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya.
Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak
hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.
Tidak
ada syadz. Syadz secara
bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadis yang diriwayatkan
oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadis dari periwayat lain
yang lebih kuat darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci, akan
dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Tidak
ada illah, Di dalam
hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadis. Tentang
hadis mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri[7].
Contoh Hadis Sahih
Hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya j.4 h.18, kitab
al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ،
وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar
ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a
; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat
pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah
(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab
di neraka
Hadis
tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, karena.
1.
Ada
sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
2.
Ada
persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin
Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman
bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara
mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari
ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan
telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan
telah mendengar hadis ini dari gurunya.
3.
Terpenuhi
keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad,
mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang
mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a.
Anas
bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua
shahabat dinilai adil.
b.
Sulaiman
bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli
ibadah).
c.
Mu’tamir,
dia siqah
d.
Musaddad
bin Masruhad, dia siqah hafid.
e.
Al-Bukhari
–penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia
dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul
mu’minin fil hadis.
4.
Hadis
ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5.
Hadis
ini tidak ada illah-nya
Dengan
demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadis
sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di dalam kitabnya ash-Shahih.
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang
pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadis nabi adalah Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri al-Madani (rahimahullah)
Shalih
bin Kaisan berkata, “Aku berkumpul dengan az-Zuhri ketika menuntut ilmu, lalu
aku katakan, ‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami menulis khabar
(berita) yang datang dari Nabi saw. Kemudian az-Zuhri mengatakan, ‘Mari kita
tulis yang datang dari shahabat, karena ia termasuk sunnah juga’. Aku katakan,
‘Itu bukan sunnah, sehinga tidak perlu kita tulis’. Meski demikian az-Zuhri
tetap menuliskan berita dari shahabat sedangkan aku tidak, akhirnya dia
berhasil sedangkan aku gagal”[8].
Ketika
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra merasa khawatir akan merosot dan hilangnya ilmu
karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan hadis Rasulullah saw
seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis Rasulullah saw atau
sunnah, atau hadis dari ‘Amrah[9],
maka tulislah karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama’[10]”
Ibnu
Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan
menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”[11]
Peristiwa
tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian setelah
az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang
membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim,
Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan
setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode penulisan
yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan
mustakhraj. Imam as-Suyuthi, dalam hal ini mengatakan di dalam kitabnya Alfiyah,[12]
Orang pertama yang mengumpulkan hadis dan atsar adalah
Ibnu Syihab
atas perintah ‘Umar
Dan yang pertama-tama mengumpulkan hadis berbab-bab,
adalah sekelompok ulama’ di masa yang tak jauh
(setelahnya)
Seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Malik,
Ma’mar, dan
anak (Ibnu) al-Mubarak
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Kemudian setelah generasi mereka
muncul imam huffadz dan amirul mukminin fil hadis, Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih dalam satu kitab hadis yang
diseleksi dari 100 ribu hadis sahih yang beliau hafalkan. Disebutkan di dalam
suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100 ribu hadis sahih, dan 200
ribu hadis yang tidak sahih”[13]
Adapun gagasan yang membangkitkannya
untuk menulis kitab Jami’ ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh
Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq
bin Rahawiyah, lalu sebagian kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau
mengumpulkan sebuah kitab ringkas tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu
terbetiklah di dalam hatiku keinginan untuk menuliskannya, lalu aku mengambil
keputusan untuk mengumpulkan hadis shahih di dalam kitab ini”[14]
Kemudian muridnya, dan pengikut
metode beliau al-Imam, huffadz al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj
bin Muslim bin Ward bin Kausyan al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah)
mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo
15 tahun[15].
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab
tersebut dengan sikap menerima, dan bersepakat bahwa keduanya adalah kitab
paling shahih setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata[16], “Para ulama’ sepakat bahwa kitab
paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim, dan ummat menerima keduanya”
Hanya saja sebagian ulama’, seperti
ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu
Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadis di dalam kedua kitab tersebut,
.
Tetapi kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’
seperti an-Nawawy di dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam
kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari. Dan di antara tokoh yang
zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, beliau telah menulis
sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina al-Imamain Muslim wa
ad-Daruquthny. Kitab
tersebut berisi pembelaan
terhadap Shahih Muslim dari para pengritiknya.
Al-Mustakhraj Terhadap Kitab ash-Shahihain
Definisi
Al-Mustakhraj
adalah suatu kitab hadis yang
ditulis oleh seorang ulama’ dengan mentakhrijkan (menuliskan riwayat)
hadis-hadis yang sudah dibukukan di dalam suatu kitab hadis dengan sanadnya
yang sama tetapi dari jalan yang lain dari pengarang kitab mustakhraj ‘alaih
(yang dimustakhrajkan), lalu periwayatan mereka bertemu pada gurunya
(penulis kitab yang dimustakhrajkan) atau guru yang lebih tinggi, sampai
kepada shahabat.
Syaratnya, tidak sampai kepada syaikh dengan jalan yang lebih
panjang sehingga menghilangkan sanad yang menghantarkan kepadanya yang
lebih dekat, kecuali dengan alasan uluw (ketinggian) atau ada ziyadah
(tembahan) yang penting. Bisa jadi Mustakhraj menggugurkan hadis-hadis
yang sanadnya yang tidak memuaskan dan bisa pula menyebutkan hadis-hadis
itu dengan jalan penulis kitab yang dimustakhrajkan.[17]
Contoh;
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.1,
h.222, Kitab ath-Thaharah, Bab Khishol al-Fithrah;
حَدَّثَنِي
أَبُوْ بَكْر بْنُ إِسْحَاق أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ
يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جروا الشوارب وأرخوا اللحي
وخالفوا المجوس
Telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Ishaq, Telah
memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin
Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata,
Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan
berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Hadis
ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim
j.1, h.188, dan dalam sanadnya terjadi pertemuan dengan sanad Imam Muslim
pada guru beliau, yakni Ibnu Abi Maryam. Bandingkan hadis tersebut dengan hadis
berikut ini!
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاق الصَّغَانِي قال أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احفوا
الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْيَ وَخَالِفُوا الْمَجُوْسَ
Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq
ash-Shaghani, ia berkata; Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam,
telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku
al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan
panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Bukanlah
suatu yang sangat urgen untuk menyebutkan sama persis antara matan (teks
hadis) yang ada di dalam kitab al-Mustakhraj dengan matan yang
ada di dalam kitab ash-Shahih (yang disebut juga al-mustakhraj ‘alaih),
sebagaimana yang terlihat di dalam contoh di atas.
Demikian
juga, kadang-kadang hadis di dalam kitab al-Mustakhraj ada ziyadah
(tambahan) matan, tidak sebagaimana yang tertulis di dalam kitab ash-Shahih.
Untuk itu apabila di dalam al-Mustakhraj salah satu kitab ash-shahihain
terdapat ziyadah, kita tidak secara otomatis menganggap tambahan matan
itu sahih sehingga diadakan peninjauan terhadap sanadnya.
Kitab-kitab Al-Mustakhraj.
Sejumlah
ulama’ yang berminat untuk menuliskan al-Mustakhraj antara lain;
1.
Mustakhraj al-Isma’ily,
2.
Mustakhraj al-Ghithrify,
3.
Mustakhraj Ibnu Abi Dzuhal.
Ketiga
kitab tersebut adalah mustakhraj kitab Shahih al-Bukhari. Adapun
kitab-kitab Mustakhraj untuk Shahih Muslim adalah;
1.
Mustakhraj Abu Awanah,
2.
Mustakhraj al-Hairy,
3.
Mustakhraj Abu Hamid al-Harawy.
Dan
di antara kitab Mustakhraj kedua kitab Shahih, adalah;
1.
Mustakhraj Abu Nu’aim al-Ashbahany,
2.
Mustakhraj Ibnu al-Akhram,
3.
Mustakhraj Abu Bakar al-Barqany
Sekilas Tentang Kitab-kitab Sunan
Para pelajar hendaklah mendalami kitab-kitab sunan
seperti Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Musnad
karya Imam Ahmad.
Yang dimaksud dengan Kutub as-Sittah; adalah ash-Shahihain,
Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan
Ibnu Majah.
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang
ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat,
dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadis marfu’, sedikit dan jarang
sekali memuat khabar mauquf[18].
* * *
SUNAN ABU DAWUD
Penyusunnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin
Ishaq al-Azdi as-Sijistani. Beliau mengkhususkan kitabnya dengan hadis-hadis
hukum, di dalamnya tidak terdapat kitab zuhud dan fadha-ilul a’mal.
Di dalam surat beliau kepada penduduk Makkah, dalam mengomentari kitabnya
sendiri (h.34), beliau berkata, “Dan tidaklah aku menyusun di dalam kitab as-Sunan
ini melainkan hadis-hadis hukum, tidak aku masukkan kitab zuhud, fadha-ilul
a’mal dll”
Kitab beliau yang bernama as-Sunan adalah salah
satu kitab yang sangat dibutuhkan, hanya saja beliau tidak mempersyaratkan
derajat sahih untuk hadis yang tercantum di dalamnya. Sehingga di
dalamnya berisi hadis sahih, hasan,
shalih, dla’if, dan munkar.
Beliau juga tidak mempersyaratkan disebutkannya semua
hadis tentang suatu bab, tetapi hanya dipilihkan yang bermanfaat saja, dan
kadang-kadang beliau menyebutkan satu hadis dari jalan yang berbeda-beda karena
ada ziyadah, baik dalam matan maupun sanad. Dan
kadang-kadang pula dibicarakan pada sebagian hadis tentang i’lalnya,
menyebutkan ikhtilaf (perbedaan) perawinya.
Beliau telah membicarakan kitab Sunannya secara
terperinci di dalam surat yang beliau tulis untuk penduduk Makkah. Ini adalah
surat yang sangat bermanfaat, semoga Allah swt. Memberikan
rahmat kepada beliau dengan rahmat yang luas.
* * *
JAMI’ AT-TIRMIDZI
Penyusunnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah,
bin Musa bin adh-Dlahhak as-Sulami, al-Bughi, at-Tirmidzi. Beliau mengalami
kebuta-an di akhir usianya.
Sebagaimana yang telah saya baca di dalam suatu manuskrip
kitab Jami’ yang mu’tamad, yang benar kitab Imam Tirmidzi bernama
al-Jami’ al-Kabir. Kemudian ada yang menyebutnya secara berlebihan
dengan nama al-Jami’ ash-Shahih, tetapi nama inilah yang masyhur. Hanya saja, di dalam kitab ini
terdapat sejumlah hadis dla’if, munkar, dan maudlu’.
Tirmidzi adalah murid Imam Bukhari, dan pengikut beliau
dalam metode penulisan hadis. Beliau juga banyak menukil pendapat Imam Bukhari
dalam membicarakan kondisi periwayat, sima’ (cara mereka mendengarkan
hadis), dan i’lal terhadap hadis periwayat tersebut.
Metode penulisan Kitab Jami’ ini berbeda dengan
metode yang digunakan oleh Abu Dawud dalam menuliskan kitab Sunan,
khususnya at-Tirmidzi memasukkan bab-bab tentang zuhud dan fadha-ilul
a’mal, bab yang tidak dicantumkan di dalam Sunan Abu Dawud.
Kitab ini adalah kitab yang menyeluruh, besar manfaatnya,
terkumpul di dalamnya ilmu riwayah hadis, dirayah, i’lal, ahwal
rijal, dan madzhab-madzhab ahli ilmu dalam bab fiqh. Hanya saja at-Tirmidzi
di dalam kitabnya ini menggunakan istilah-istilah tersendiri untuk menyebut
status kualitas hadis-hadisnya. Tindakan ini memungkinkan terjadinya perbedaan
pengertian dengan para ulama’ lainnya. Istilah itu antara lain hasan sahih,
hasan gharib, hasan sahih gharib, atau hasan laisa isnaduhu bidzalika
al-qaim (hasan tetapi sanadnya tidak lurus).
Di dalam buku ini bukan tempatnya untuk menjelaskan
maksud dari istilah-istilah tersebut. Saya telah membahasnya secara
sederhana di dalam Syarah (penjelasan)
terhadap kitab al-Mauqidhah karya adz-Dzahabi, dan al-Hasan fi mizan
al-Ihtijaj. Dan kadang-kadang at-Tirmidzi terlalu sembrono dalam menentukan
status tersebut, dengan segala perbedaannya, sebagaimana telah saya jelaskan di
dalam beberapa tulisan.
Secara umum kitab ini termasuk kitab yang sangat
bermanfaat.
* * *
SUNAN AN-NASA’I
Penyusunnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan
bin Bahr bin Dinar Abu ‘Abdurrahman an-Nasa’i.
Di dalam kitab sunan ini terdapat hadis sahih, dla’if,
dan sangat dla’if.
Adalah suatu kesalahan apabila ada yang menganggap hadis
dalam Sunan an-Nasa’i semuanya sahih. Di dalam kitab ini ada ungkapan terhadap
sebagian hadis yang tidak difahami dengan baik kecuali oleh orang yang telah
diberikan ilmu dan pengetahuan oleh Allah. Di dalam kitab ini terdapat
pembahasan tentang i’lal dan perbedaan pendapat. Kitab ini terhadap kitab-kitab sunan bagaikan satu
mutiara di dalam untaian permata[19]
Apabila disebut Sunan an-Nasai saja maka yang dimaksudkan
adalah Sunan al-Mujtaba, yaitu sunan karya beliau yang Sughra,
Beliau juga memiliki Sunan Kubra. Kitab al-Mujtaba bukanlah kitab
hasil ringkasan murid beliau, Ibnu as-Suni, sebagaimana didakwakan oleh
sebagian ulama. Al-Mujtaba’ adalah karya beliau dan hasil seleksi beliau.
Allahu a’am.
* * *
SUNAN IBNU MAJAH
Penyusunnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin
Majah, ar-Rabi’iy al-Qazwainiy.
Kitab beliau ini cukup bermanfaat, hanya saja
kedudukannya di bawah lima kitab hadis terdahulu. Di dalam kitab ini terdapat
banyak hadis-hadis dla’if, dan sejumlah hadis.
Catatan;
Apabila
ahli hadis mengatakan, “Hadis yang diriwayatkan atau dikeluarkan oleh as-Sittah”
maka maksud dari ungkapan tersebut adalah hadis yang dicantumkan di dalam kitab
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
Dan apabila dikatakan, “Diriwayatkan atau dikeluarkan
oleh al-Arba ’ah”, maka yang dimaksudkan adalah Sunan Abu Dawud, Jami’
at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
* * *
MUWATHTHA’ IMAM MALIK
Kitab Muwaththa’ adalah, kitab yang ditulis dengan
urutan sesuai bab-bab fiqh, hanya saja berbeda dengan kitab Sunan dari
segi kandungan kadis marfu’, mauquf dan maqthu’[20]
Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir
bin Amru bin al-Harits, Abu Abdillah al-Madaniy, syaikhul Islam, dan Imam Darul
Hijrah.
Muwaththa’
memuat hadis sahih yang jumlahnya sangat besar, dan sedikit hadis dla’if. Di
dalamnya terdapat kata mutiara yang tidak ada hukumnya kecuali apabila jelas
sanadnya.
Tentang kitab ini Imam Syafi’i berkomentar, “Aku tidak
mengatahui adanya kitab yang paling sahih setelah kitabullah, selain dari
muwatha’ karya Imam Malik”. Komentar Imam syafi’i ini dikemukakan sebelum
adanya kitab shahih Bukhari dan Muslim. Sebab ummat telah sepakat bahwa kitab
yang paling sahih setelah Alqur’an adalah shahihaini.
Di dalam kitab al-Muwaththa’ ada pendapat-pendapat dan
hukum-hukum menurut imam Malik yang harus dipegangi dengan kuat.
* * *
MUSNAD IMAM AHMAD
Musnad adalah
kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat,
lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang
shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat
lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun,
dengan mengesampingkan tema hadis.
Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas,
paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Ada yang
mengatakan, kitab ini memuat sekitar 40.000 hadis, ada yang menyebutkan 30.000
hadis, atau mendekati angka tersebut. Sesungguhnya naskah Musnad Imam Ahmad
yang sudah dicetak berulang-ulang kandungan hadisnya mencapai 27.688 buah
hadis. Allahu A’lam bish-Showab.
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if,
bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudlu’, meskipun hanya
sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’
di dalam kitab ini.
Kitab
ini merupakan salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh ummat
Islam. Penyusun memulai kitabnya dengan musnadnya 10 orang shahabat yang telah
dijanjikan sorga, didahulukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali,
kemudian shahabat yang lainnya yang termasuk sepuluh itu. Kemudian disebutkan
hadis Abdurrahman bin Abu Bakar, kemudian tiga hadis dari tiga orang shahabat,
kemudian musnad ahlul Bait,dia menyebutkan hadis-hadis mereka, demikian
seterusnya sampai tuntas dengan hadis Syidad bin al-Had ra[21].
Soal-Soal Diskusi
1.
Apa perbedaan antara:
a. Atsar dan Khabar
b. Hadis washafy dan hadis Qauli
c. Sunan dan Mustakhraj
d. Musnad dan Muwaththa’
2.
Definisikanlah istilah-istilah berikut ini:
a. Hadis
b. Hadis sahih
c. Kedhabithan
dan keadilan
3. Jawablah pertanyaan berikut ini:
a.
Ada
berapa macamkah pembagian dlabith itu? Berikan penjelasan terhadap
masing-masing bagian!
b.
Apa
hukum ziyadah terhadap hadis shaihaini di dalam kitab Mustakhraj?
c.
Siapakah
yang pertama kali memberikan perhatian terhadap usaha pembukuan hadis nabi?
4. Apakah perbedaan antara Muwaththa’ dengan
Shahih Bukhari dan Muslim. Jelaskan manakah di antara ketiganya yang paling
sahih?
Hadis Hasan
Definisi
مَا
اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ
دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ
اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih ,
hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang
rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi hal itu tidak sampai
mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis
seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadis
yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih. Dalam
hal ini syarat hadis sahih adalah;
1.
Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2.
Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3.
Tiadanya syadz (keganjilan)
4.
Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan
syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadis hasan
tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih.
Periwayat hadis hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq
(jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya
tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Contoh
hadis hasan; Hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah
(2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ
سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ
لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku
nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya),
meskipun samar” Hadis ini sanadnya hasan.
Di
dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu
Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
Hadis Shahih Lighairihi
Definisi
الْحَسَنُ
لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ،
وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ مِنْ ذَاتِ
السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadis hasan lidzatihi apabila diriwayatkan dari
jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadis shahih
lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi
karena bergabung dengan sanad yang lain[22].
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan
dari jalan lain yang setingkat;
Maksudnya adalah ada riwayat dengan sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan
yang lebih kuat; yaitu hadis sahih lidzatihi
Dinamakan
hadis shahih lighairihi; menjadi hadis sahih karena bergabungnya dua
jalan.
Keshahihannya
tidak datang dari sanadnya sendiri;
Maksudnya ketetapan-nya sebagai hadis sahih tidak didasarkan pada satu sanad
saja, melainkan karena digabungkannya dengan sanad yang lain yang
sama atau lebih kuat.
Hadis Dla’if
Definisi
مَا لَمْ
يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya
dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis
sahih)
Penjelasan Definisi
Tidak
terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah
dibahas, antara lain;
1.
Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2.
Sanadnya bersambung
3.
Rawinya ‘adil dan dlabith
4.
Tidak mengandung syadz
5.
Tidak ada illah
Hilangnya
salah satu syarat diterimanya hadis;
Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan
kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’
tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila
tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.
Apabila
tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil,
maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada
syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut
dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang disebabkan oleh
kelemahan rawi.
Apabila
hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk
Dan
apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
Pembagian Hadis Dla’if.
Hadis
dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua
bagian;
1. Hadis yang kedla’ifannya
ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat
dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan
lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang
masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya
diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’
(keterputusan) karena mursal, atau tadlis.
2. Apabila tingkat
kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’
(pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk
karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain
yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if berat,
dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah;
Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali
(69) dengan jalan;
عَنْ أَبِي
دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ
سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا
عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ،
وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami
‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw
bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia
seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy
adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia
pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”.
Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia
ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini
adalah maudlu’, karena kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah
(keadilannya).
Contoh hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh
kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh
Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252) dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ
الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ
ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami
Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin
Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan
panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin,
karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada
berkahnya.
Di dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah
al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan hadisnya)
karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi
kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari hafalannya. Dari
itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang
yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.
Hadis Hasan Lighairihi
الضَّعِيْفُ
الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya, apabila jalannya
banyak
Ada
pula yang mendefinisikan dengan;
مَا كَانَ
ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu dikuatkan dengan hadis
yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan Definisi
Hadis
dla’if yang ringan kedla’ifannya;
yaitu hadis yang datang dengan sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’ atau lebih yang semisal
atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Bazar di dalam
kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawaid
(10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7), Abdul Ghina
al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ
وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ
ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ فِي فَضَائِلِ
رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, ia berkata;
Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga kemudian mengucap,
“Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”…… Hadis
tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah
bin Wardan adalah rijal yang dla’if, dalam hal hafalan, dia
meriwa-yatkan beberapa hadis dari Anas bin Malik yang tidak sama dengan hadis
yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah, hanya saja kedla’ifannya
ringan, tidak berat.
Hadis ini diikuti oleh Tsabit al-Banani, yang juga
meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan
oleh Ibnu Syahin (h.4). Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan
yang ringan juga. Di dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il,
yang hafalannya juga lemah.
Dengan
bergabungnya dua jalan ini, hadis tersebut menjadi hasan.
Soal-soal Diskusi
1.
Definisikan berikut ini
a.
Hadis
Hasan Lidzatihi
b.
Hadis
Shahih Lighairihi
c.
Hadis
Hasan Lighairihi
2. Apa perbedaan antara hadis shahih lighairihi dengan
hadis hasan lighairihi?
3. Manakah
yang lebih kuat di antara jenis-jenis hadis berikut ini?
a.
Hasan
lidzatihi dan hasan lighairihi
b.
Shahih
lighairihi dan hasan lighairihi
c.
Shahih
lidzatihi dan hasan lighairihi
4. Apa yang
dimaksud dengan dla’if ringan dan dla’if berat?
1.
Mursal
Definisi
مَا نَسَبَهُ
التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah
orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi saw baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in
mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”,
“Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat
demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh;
Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf (5281)
عَنْ ابْنِ
جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw
apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu
mengucap, “Assalamu’alaikum”
Atha’
dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia
mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah
adalah mursal.
Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis
mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dla’if.
Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang
mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi
hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan hadis mursal adalah
ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedla’ifannya
atau lebih sahih darinya[23]
selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah
(tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis
yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling
sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara
langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya
dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri
dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal
mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi
saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
Gambar 3:
Skema Hadis Mursal
2. Munqathi’
Gambar 3:
Skema Hadis Mursal
|
Definisi
مَا كَانَ
فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
Penjelasan Definisi
Apabila
di tengah-tengah
rangkaian sanadnya ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih
selama tidak terputus secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada
generasi di bawah tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi
setelahnya. Sedangkan apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka namanya mursal.
Contoh;
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan
(3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ
عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي
الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ الْقُنُوْطِ
Musa bin
Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari al-Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan
kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadis
tentang do’a qunut.
Sanad hadis ini inqitha’. Al-Hafidz Ibnu Hajar ra
berkata di dalam kitab at-Talkhish al-Khabir (1/264), “Abdullah
bin ‘Ali adalah Ibnu al-Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan al-Hasan
bin Ali”
3. Mu’dlol
Definisi
مَا سَقَطَ
مِنْ إِسْنَادِهِ رَاوِيَانِ أَوْ أَكْثَرُ بِشَرْطِ التَّوَالِي
Apabila dari sanadnya hilang
dua rawi atau lebih dengan syarat secara berurutan
Penjelasan definisi
Hilang
dua rawi atau lebih, yang
dimaksudkan adalah para rawi di atas guru penyusun kitab[24].
Contoh;
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286),
dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari
jalan Qatadah, ia berkata;
ذُكِرَ لَنَا
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: اْلكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسَرِ الْعَجَمِ
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda,
kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)
Qatadah yang
dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi, Riwayatnya dari tabi’in
besar sangat agung, Pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau
telah menghilangkan setidaknya dua orang rawi, yaitu seorang tabi’in dan
seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dlol.
Dan hadis mu’dlol derajatnya di bawah mursal dan munqathi’,
karena banyaknya rawi yang hilang dari sanad secara berurutan.
4. Muallaq
Definisi
مَا حُذِفَ
مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ
Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang periwayat
atau lebih dan seterusnya sampai akhir sanad.[25]
Penjelasan Definisi
Awal
Sanad, dihitung dari
penyusun kitab.
Seorang
rawi atau lebih, yaitu
gurunya penyusun kitab, gurunya sang guru, dan seterusnya dihilangkan sanadnya
Sampai
akhir sanad, tempat dimana dikatakan, “Rasulullah saw bersabda”, atau
“Diriwayatkan dari Rasulullah saw”
Contoh;
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman,
Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ
مَالِكٌ، أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَّارٍ
أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ
إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلْفَهَا، وَكَانَ
بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصِ الْحَسَنَةِ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِئَةٍ
ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا، إِلاَّ يَتَجَاوَزُ اللهُ عَنْهَا
Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid
bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id
al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw
bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah
akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan
terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan
itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran
tehadap Allah.
Al-Bukhari
tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik
melalui perantara seorang rawi.
Contoh
lain; dikeluarkan oleh
al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma
Ja’a fi Ghusli al-Baul, (1/51)
وَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِ الْقُبْرِ: كَانَ لاَ
تَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu dia
tidak mem-bersihkan kencingnya.
Al-Bukhari
menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi saw bersabda”.
Hukum Hadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain
Hadis
Mu’allaq adalah dla’if yang tidak bisa digunakan untuk menjadi hujjah,
karena hilangnya seorang rawi atau lebih. Tetapi apa hukumhadis
Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain.
Adapun
Mu’allaq yang ada di dalam Shahih Muslim, jumlahnya hanya sedikit
saja dibandingkan dengan hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahih
al-Bukhari. Hadis Mu’allaq di dalam Shahih Muslim jumlahnya
hanya tiga belas hadis, sebagian di antaranya telah disebutkan secara
bersambung oleh Muslim sendiri. Sebagian lagi disebutkan secara bersambung oleh
ulama’ hadis yang lain. Dan sebagian yang lain disebutkan disebutkan sebagai tabi’
dan syahid.
Hukum
hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahihain adalah;
1.
Riwayat yang disebutkan dengan kalimat positif, seperti dalam ungkapan, “Fulan
berkata”, “Fulan menyebutkan”, “Fulan mengisahkan”, atau “Fulan meriwa-yatkan”.
Maka riwayat itu sahih sampai kepada orang yang ia ta’liqkan itu.
Sedangkan sanad yang lain tetap perlu diteliti, karena bisa jadi sanad
itu sahih dan bisa pula dla’if.
Contoh; riwayat yang disebutkan mu’allaq oleh
Bukhari dari Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu
Sa’id al-Khudriy, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hadis ini dimu’allaqkan
oleh al-Bukhari dengan ungkapan yang pasti dari Imam Malik, yaitu “Malik
berkata”. Hadis ini sahih dari riwayat Imam Malik. Tetapi rawi lainnya perlu
diteliti ‘adalah dan dlabthnya, serta syarat-syarat kesahihan
yang lain.
Contoh lainnya, hadis yang dimu’allaqkan oleh
al-Bukhari dari Nabi saw tenang adzab kubur. Rasulullah saw bersabda kepada
penghuni kubur, “Dia tidak membasuh kencingnya.. Al-Bukhari menegaskan dari
Rasulullah saw, artinya riwayat itu benar dari Rasulullah saw sebagaimana
disebutkan secara bersambung di beberapa tempat di dalam kitab Shahihnya
2.
Hadis mu’allaq yang disebutkan dalam bentuk kalimat negatif, seperti
dalam ungkapan, “Diriwayatkan dari si Fulan”,
“Disebutkan dari si Fulan”, atau “Dikatakan…”. Ungkapan ini terasa lemah
bagi ahli hadis sampai kepada orang yang dimu’allaqkannya
Contoh; Hadis yang dimu’alaqkan oleh al-Bukhari di
dalam kitab ash-Shahihnya (1/74-75), Kitab ash-Shalat, Bab: Wujub
ash-Shalat fi ats-Tsiyab.
وَيُذْكَرُ
عَنْ سَلَمَةِ بْنِ اْلأَكْوَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: يَزُرُّهُ وَلَوْ بِشَوْكَةٍ فِيْ إِسْنَادِهِ نَظْرٌ
Disebutkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Nabi saw
bersabda, “bersarunglah meskipun dengan duri. Rawi di dalam sanadnya perlu
diteliti.
Catatan;
Di sini perlu diberikan catatan, bahwa al-Bukhari
kadang-kadang memu’allaqkan hadis dari gurunya dengan kalimat positif,
maka tidak perlu dianggap adanya rawi yang hilang antara beliau dengan gurunya.
Dan menurut ahli ilmu hal ini dianggap sebagai muttashil, kecuali ibnu Hazm
adh-Dhahiriy, ia berbeda pendapat dengan yang lainnya dan berkata, hadis itu
termasuk munqathi’ (terputus)
Di antara contoh hadis seperti itu adalah; Imam
al-Bukhari berkata di dalam ash-Shahih, Kitab al-Asyribah, Bab:
Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamra wa Yusmiihi Bighairi Ismihi (3:322),
وَقَالَ
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ
الْكِلَابِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ، قَالَ
حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ - أَوْ أَبُو مَالِكٍ- الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا
كَذَبَنِي، سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ،
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ
يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ-
لِحَاجَةٍ، فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ،
وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
Telah
berkata Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami shaqadoh bin Khalid,
telah bercerita kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilabi, Telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman bin Ghanam al-Asy’ari, ia berkata; telah menceritakan kepadaku
Abu Amir –disebut juga dengan Abu Malik- al-Asy’ari, Demi Allah, ia tidak
menipuku, ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Akan ada di antara ummatku
suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan dawai. Dan sungguh akan
turun suatu kaum di dekat gunung, mereka membawa gembalaan mereka. Lalu ada
orang fakir mendatangi mereka karena ada keperluan. tetapi mereka mengatakan,
“Datanglah kepada kami besok. Lalu Allah menidurkan mereka, dan menimpakan
gunung (kepada sebagian mereka) dan mengubah lainnya menjadi kera dan babi
hingga hari kiamat.
Hisyam
bin ‘Ammar termasuk guru al-Bukhari yang pernah ditemuinya secara langsung,
didengar hadisnya, bahkan dia mengajarkan pula hadis darinya, maka menta’liqkan
hadis darinya tidak berarti terputus sama sekali. Wallahu a’lam
5. Mudallas
Definisi
أَنْ
يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ
يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadis) dari
seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadis
yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia
meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari”
atau “ia berkata”
Contoh;
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212),
at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata;
Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu
berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum
mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah
dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis.
Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah
ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan
dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung,
yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini
tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis
tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan
ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu
Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari
jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku
menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata;
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis
tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis
tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul,
dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari
al-Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di
dalam kitab al-Jami’, dengan jalan;
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar
bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku
mendengar rasulullah saw bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk
shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja
ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan
riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima
riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadis tersebut dengan sanad
(3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ،
قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan
kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadis dengan matan seperti di
atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan
hadis ini dari Ibnu ‘Ajlan .
Macam-macam Tadlis
Pertama,
Tadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan
contohnya telah disebutkan di atas.
Kedua, Tadlis
Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadis-nya dengan
identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah.
Hal itu dilakukan karena kedla’ifannya atau karena kemajhulannya,
dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan
kondisi gurunya,.
Contoh; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam
Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ
جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ
رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari
Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi saw, dari
Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu
Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita
dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga dalam sekali
waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin
Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat.
Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan
namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian
anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang
siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan
perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadis ini adalah
Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al-Bukhari mengatakan
bahwa dia, “Munkarul hadis” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”.
Abu Hatim berkata, “hadisnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat
al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah
bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya,
seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”,
yang dimaksudkan dengan kata al-Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain.
Atau seperti dikatakan oleh al-Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang
ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau al-Mishri
mengatakan, “Ia mengajarkan hadis di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah
suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan
fulan mengajarkan hadis kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang
pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadis dari orang yang kedua.
Contoh, Hadis yang disebutkan oleh al-Hakim di dalam ‘Ulum
al-Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi
yang disebut-sebut telah melakukan tadlis- pada suatu hari berkumpul
untuk berjanji tidak akan mengambil hadis yang ditadliskan oleh Hasyim.
Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap
hadis yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari
Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan
riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku
tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan.
Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah
tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadis mengatakan haddatsana
(telah mengajarkan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar)
lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya
dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin
Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadis dari Hisyam.
Contoh, hadis yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam al-Kamil
fi adl-Dlu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata,
“Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan
untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah
ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin
Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadis darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk.
Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari
rangkaian sanad, bisa karena kedla’ifannya atau karena usianya
yang sangat muda, sehingga hadis tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah
dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah
yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal
yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah al-Walid bin Muslim
dan Baqiyah bin al-Walid.
Hukum ‘An‘anah seorang mudallis
Secara umum[26]
seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan
membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadis
dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia
menyatakankan menerima hadis secara sima’ maka riwayat itu dapat
diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak
mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya
ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan
suatu hadis. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan hadisnya
dan menguji riwayatnya.
Tingkatan Mudallis[27]
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis
dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka,
dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima
tingkatan, yaitu
1- Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali
jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id al-Anshari
2- Orang yang tadlisnya ringan, dan
hadisnya masih disebutkan di dalam kitab ash-Shahih karena keimamannya
di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan
bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah
seperti Sufyan bin Uyainah.
3- Orang yang hadisnya didiamkan oleh sejumlah
ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah
kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang
diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa hadisnya
itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi[28] dan Abu Ishaq
as-Sabi’i
4- Orang yang disepakati oleh ahli hadis untuk
tidak berhujjah dengan hadisnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’
karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti
Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
5- Orang yang disebut dengan ungkapan lain,
selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya,
hadisnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab
al-Kalbiy dan Abu Sa’id al-Biqal
Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya
perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara
keduanya dalam hal tidak mendengar hadis dari orang yang disebutkan sebagai
orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada
hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara
keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal
khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat
perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang
ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah
bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Dalam
meriwayatkan hadis itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar
secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia
berkata”.
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran al-A’masy, dari Anas
bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak
menerima hadis darinya. Ia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik yang dia
dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin al-Madiniy berkata; al-A’masy tidak pernah
menerima hadis dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan
ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari
Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakan mursal, bukan mudallas,
meskipun al-A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari
guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan al- Basri, ia melihat Utsman
bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau
tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan al-Basri sama sekali
tidak mendengar hadis yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu
periwayatan Hasan al-Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu
a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal
terletak pada cara sima’nya
seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya.
Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis
darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara,
maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari
seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar
hadis darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
Tambahan; Perbedaan antara Tadlis dan Irsal.
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya
tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia
telah menerima hadis secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara
khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis.
Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh
yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis- maka ‘an‘anahnya
tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’,
meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya
dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun
oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara
kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin
li Asma’ al-Mudallisin, karangan
Burhanuddin al-Halabiy.
- Ta’rif
Ahlu at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi-at-Tadlis, karangan al-Hafidz Ibnu Hajar.
- Jami’
at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil,
karangan al-Hafidz Shalahuddin al-‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu
tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf
Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadlilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad
al-Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab
ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan
penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
Soal-soal Diskusi
1.
Sebutkan definisi masing-masing istilah berikut ini ;
a. Irsal
b. Tadlis
c. I’dlal
2.
Apa perbedaan antara istilah-istilah berikut ini
a. Tadlis dan irsal khafi
b. Tadlis Syuyukh dan tadlis bilad
c. Tadlis ‘Athf dan Tadlis sukut
3.
Apakah hadis mu’allaq itu?
4. Hadis-hadis Mu’allaq yang
terdapat di dalam kitab Shahihaini dibagi menjadi berapa bagian? Dan apa hukum
masing-masing bagiannya?
Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi
Telah
kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya suatu hadis adalah para rawi
memiliki sifat ‘adalah dan dlabth. Dan juga telah kita bicarakan
bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh
taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik,
fasik dan bid’ah. Cacat pada keadilan disebabkan oleh empat hal,
yaitu
a. Dusta
b. Tertuduh
berdusta
c. Tidak dikenal (Jahalah)
d. Bid’ah
Pada
bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena
cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya –atau sebagian di
antara para rawinya.
1. Maudlu’
Definisi
مَا كَانَ
رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ
Apabila rawinya pendusta atau
matannya menyelisihi qaidah [agama].
Penjelasan Definisi;
Rawinya pendusta, maksudnya
salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap
dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah
syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.
Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
مُحَمَّدٌ
بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى
السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي
تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ
تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ
شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis
kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia
berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat,
punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah,
dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia,
“Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang
terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis
ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin
Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan
adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi
berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh
lain, Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no.
2) dari jalan sebagai berikut
عَنْ زِيَادُ
بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ
وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai
Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai
penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban
dan Ramadhan”
Di
dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi,
ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw
Yazid
bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu
ia berkata, Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.
Hukum meriwayatkan hadis maudlu’
Meriwayatkan
hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun
mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang
kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak
mengetahui kepalsuannya.
Hadis
maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati),
at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak
diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh
mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah
satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus
dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’.
Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah,
baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.
2. Hadis Matruk
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ
Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta
Sebagian
ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan
dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal
yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang
dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut
diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham
(tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.
Contohnya;
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no.
6) dengan jalan melalui;
جُوَيْبِرْ
ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ
فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ
فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas
dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia
dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara
tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.
Di
dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id
al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk).
Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan
(tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.
Catatan;
Sebagian
rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara
mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula
yang menyebut wah (lemah) dan
lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti
ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan
ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’.
Allahu A’lam.
Pembahasan Tentang al-Jahalah
Adanya
rawi yang tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab
ditolak-nya suatu riwayat. Jahalah terbagi menjadi dua bagian;
1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap
orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan
tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya
Di
antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain
adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya
hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa
ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362),
“Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga,
dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama
Hafsh.
2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis
darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak
mengemukakan jarh wa ta’dilnya.
Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam
golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh
Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak
dianggap siqah
Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?
Mayoritas
ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul hal
ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang membedakan
antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih ringan
daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang
majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat,
maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua
jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah (adanya
penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke
dalam kategori berat.
Contoh
Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),
حَدّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ
عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu
Luhai’ah menceritakan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu
Waqqash, dari Saib bin Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa
Nabi saw apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya
dengan kedua tangannya.
Hafsh
bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Contoh
hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan
al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari
شَرِيْكٍ
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin
Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual
Yazid
bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.
3. Hadis Mubham
Definisi
الْمُبْهَمُ
مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ
Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan
namanya di dalam sanad.
Contohnya,
hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan
jalan
عَنِ
الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
dari
al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,
ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa
penipu lagi keji
Rawi
di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau
penyakit, juga termasuk mubham.
Contoh;
hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari
مَحَمَّدُ
بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي اْلأَنْصَارِي أَنَّ
رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ
Muhammad
bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari berkata, bahwa
Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis tentang shalat
tasbih.
Hukum Hadis Mubham
Hadis
Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena
periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak
dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa
orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat
dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila
yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena
semua shahabat itu adil.
Mubham matan.
Kadang-kadang
mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi
kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat
pada sanad.
Contohnya,
hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir;
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ
فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ
فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ
مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ
فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ
أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari
Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw,
beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian berdiri
bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah, dan
mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan
mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka
beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah
karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu
berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita,
yang kedua pipinya berwarna merah
kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian, Ya Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada
suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka
yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal
Disembunyikannya
nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan
hadis, karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.
Pembahasan Tentang Bid’ah
Bid’ah
sebagaimana telah saya sebutkan
pada sebab-sebab dlaif karena cacat pada keadilan rawi. Tetapi
apakah hadis dari orang yang melakukan bid’ah tertolak secara mutlak
ataukah ia bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Hal
ini secara terperinci akan dibahas pada bagian kedua dari buku ini, yaitu dalam
Jarh wa Tadil untuk pemula
Soal-soal Diskusi
1.
Apa
sebab-sebab yang meniscayakan cacat pada keadilan rawi?
2.
Definisikan
berikut ini
a. Hadis Maudlu
b. Hadis Matruk
3.
Apa
perbedaan antara hal-hal berikut ini
a. Jahalah Hal dan
Jahalah ain
b. Mubham sanad dan
Mubham matan.
Hadis Dla’if karena Kelemahan pada Kedlabithan Rawi
Dlabt, sebagaimana yang telah didefinisikan terdahulu adalah
kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga
apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam
bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya
Dan
telah kami sebutkan bahwasannya dlabth merupakan salah satu syarat
kesahihan hadis, apabila rawi mengalami sedikit kekurangan pada
akurasinya (dlabth) dibandingkan dengan periwayat hadis sahih, maka
hadisnya menjadi hasan.
Adapun
apabila kurangnya akurasi menyebabkan banyaknya kesalahan di dalam periwayatan
maka hadisnya menjadi dla’if yang tertolak.
Akurasi
periwayat diketahui dari kesesuaiannya dan perselisihannya dengan rawi
lainnya yang siqah. Apabila riwayat seorang rawi sesuai dengan
riwayat para rawi yang siqah, bahkan hampir tidak ada perbedaan,
maka ia dikatakan dlabith, dan dia termasuk rawi yang sahih.
Apabila
kesesuaiannya terdapat pada kebanyakan riwayatnya, dan ada beberapa riwayat
yang berbeda dengan periwayatan rawi yang siqah, maka derajat
periwaya-tannya ada di bawah derajat sahih, dan hadisnya diketegorikan hadis hasan.
Apabila
perbedaan riwayat lebih banyak terjadi dari pada kesamaannya maka ia menjadi dla’if,
dan hadisnya tertolak, kecuali apabila ada tabi’nya. Dengan adanya tabi’
maka hadisnya menjadi hasan, sebab adanya akumulasi jalan sanad[29].
Apabila
seorang rawi terbiasa berbeda dengan periwayatan rawi yang sahih,
dan sangat sedikit kesamaannya maka ia dikatakan banyak kesalahan, sehingga
hadisnya matruk dari segi hafalannya.
Hadis
yang di dalam sanadnya terdapat rawi semacam ini –yang sedikit dlabthnya-
dikelompokkan menjadi bermacam-macam tingkat sesuai kadar kelemahannya,
Jenis-jenis inilah yang akan kami jelaskan pada bab-bab selanjutnya.
1. Hadis Munkar
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا
يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri
periwayat yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih
kuat.
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan
oleh seorang diri periwayat yang dla’if;
Maksudnya, adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if
dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat,
atau yang setingkat apabila kedla’ifannya ringan.
Bertentangan
dengan periwayat yang lebih kuat;
dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadis dalam
bentuk yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih
kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan
Contoh;
hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh
al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) al-Bazzar di dalam
Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari
an-Nadlr bin Syaiban
حَدَّثَنَا
النَّضْرُ بْنُ شَيْبَانَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، حَدِّثْنِي بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ بَيْنَ أَبِيكَ
وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ، قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ
رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ
إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia
berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku
hadis yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw
secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah
saw pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku,
Rasulullah saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian
berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya.
Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan
perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia
dilahirkan oleh ibunya
Pada
sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi
yang dla’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu
ketika ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah
mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para
ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis dari
ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.
Yang
kedua, hadis seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang siqah
(terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh),
seperti Yahya bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah secara marfu’ dengan teks;
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ،
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan
keimanan dan perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu,
dan barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul
qadr dengan keimanan dan perhitungan
maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu
Dengan
demikian An-Nadlr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih terpercaya
dan lebih banyak sanad hadis dan matannya. Dan hadis dari
jalannya adalah munkar.
Contoh
lain; Hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’ (3386) dengan
jalan dari Hammad;
حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ
الْجُمَحِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا
حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa
al-Juhani, dari Handhalah bin Abu Sufyan al-Juhami, dari Salim bin Abdullah,
dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah saw apabila
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap
wajah beliau dengan kedua tangannya.
Setelah
mengeluarkan hadis ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis gharib, aku tidak menjumpainya
kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya seorang diri”
Hammad
bin Isa adalah dla’if hadisnya, Abu Hatim berkata, “Dia dla’if”.
Abu Dawud berkata, “Dia dla’if, dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar”.
Al-Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudlu’ dari
Ibnu Juraij dan Ja’far ash-Shadiq”
Dengan
demikian hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang diri termasuk
hadis munkar.
CATATAN
Dalam
bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…
Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita
sebutkan bahwa ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat
yang dla’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya
terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena
moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak
para imam terdahulu menyebut hadis maudlu’ dengan nama munkar,
karena pembedaan antara munkar dan maudlu’ ini terjadi pada
ulama’ mutaakhkhirin.
Kedua; Sebagian ahli hadis menyatakan tentang munkarnya hadis gharib,
lalu mengatakan “Ini adalah hadis gharib, maksudnya adalah hadis munkar,
sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadis maudlu’.
Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja,
tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan
suatu hadis dengan teks tertentu, dan ada rijal dla’if yang meriwayatkan
hadis dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadis dari
an-Nadlr bin Syaiban (contoh 1)
Atau
sejumlah rijal yang siqah meriwayatkan hadis, dan rijal yang
dla’if meriwayatkan hadis dengan
teks yang sama, hanya saja ia memberikan ziyadah (tambahan)
pada matan hadis, dengan suatu
tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh rijal
yang siqah.
Contoh.
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/101,282), Bukhari (1/40), Muslim
(1/283), Abu Dawud (4-5) Tirmidzi (5-6) an-Nasa’I dalam al-Yaum wa al-Lailah
(74) dan lain-lainnya dengan jalan dari
Abdul Aziz bin Shuhaib
عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ
بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ
بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia
berkata; Nabi saw apabila memasuki wc berkata, Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Tetapi
di dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan jalan dari
Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dla’if hadisnya, dari
Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi saw apabila memasuki wc
membaca do’a,
بِسْمِ
اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Dengan
nama Allah, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki
dan setan betina
Hadis
ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah,
hanya saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka
tambahan ini munkar.
Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang
hadisnya dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi
yang dla’if, seperti hadis Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah
hafidh hanya saja riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya
ketika masih sangat kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila
ia meriwayatkan hadis seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadis
yang menguatkan) dari rijal yang siqah, maka periwayatannya
seorang diri itu dinilai munkar.
Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah
derajat siqah dalam hal dlabth sehingga hadisnya dinilai hasan,
kadang-kadang hadisnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama,
Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa
diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya
bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya,
hadis yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350)
dengan jalan dari Hammad bin Salamah
حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا
سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى
يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin
Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, bersabda; Apaila
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di
tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.
Muhammad
bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, hadisnya hasan dalam riwayat
yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Dia
telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis Abu Salamah. Ibnu Ma’in
berkata, “Ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya,
kemudian meriwayatkan hadis itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadis ini seorang diri dari Abu Salamah,
dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadis ini
munkar, jika dibandingkan dengan matan hadis dari Aisyah ra, yang
tersebut di dalam shahihain secara marfu’;
كُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ
حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum
terbit fajar.
Kata-kata
Rasulullah saw, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”
berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan
membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadis Abu
Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan
dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.
Dengan
demikian hadis ini munkar, padahal hadis datang dari rawi yang shaduq,
yang secara umum hadisnya hasan.
Kedua; bahwa rawi yang shaduq, atau siqah yang
tersalah pada beberapa riwayatnya apabila meriwayatkan hadis dari seorang hafidh
yang masyhur memiliki murid cukup banyak, tetapi ia meriwayatkannya seorang
diri, tidak ada murid lain yang membawakan riwayat yang sama dari seorang
hafidh tersebut, maka riwayatnya sendiri itu munkar. Seperti yang
diisyaratkan oleh Imam Muslim ra di dalam muqaddimah kitab Shahihnya,
“Keputusan
ahli Ilmu (hadis), dan orang yang kami ketahui madzhabnya tentang diterima
periwayatan hadis yang diriwayatkan secara munfarid, adalah bahwa hadis
tersebut telah diriwayatkan pula oleh ahli-ahli ilmu dan hafidz yang siqah
di antara periwayatan mereka. Dan terlebih lagi pada periwayatan itu terdapat
kesesuaian. Apabila ditemukan keadaan demikian, kemudian ia menambahkan suatu
teks yang tidak ada pada rijal lainnya, maka tambahan itu dapat
diterima”.
Adapun
orang yang setingkat dengan az-Zuhri karena kebesarannya dan banyaknya murid
yang hafidz (banyak menghafa hadis)
mutqin (terpercaya) baik pada hadis dari az-Zuhri ataupun hadis
lainnya, atau yang sekelas Hisyam bin Urwah. Hadis dari kedua tokoh tersebut menurut
para ulama' telah tersebar luas di negeri Islam. Murid-murid keduanya telah
menukil hadis dari mereka, bahkan hadis-hadis yang disepakati di antara mereka
jumlahnya cukup banyak. Lalu ada salah seorang diantara murid dari keduanya,
atau murid salah satu di antara keduanya meriwayatkan hadis yang tidak dikenal oleh
seorang pun di antara murid mereka. Dan rawi yang meriwayatkan itu pun juga
tidak pernah meriwayatkan hadis dari guru mereka yang sama dengan hadis sahih
yang diriwayatkan oleh para murid yang lain. Maka hadis seperti ini tidak boleh
diterima.
Contohnya
adalah hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra
(4/316) dan adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/18) dengan
jalan;
مَحْمُوْدُ
بْنِ آدَمَ الْمَرْوَزِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَامِعٍ
بْنِ أَبِي رَاشِدْ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ
–يَعْنِي ابْنِ مَسْعُوْدٍ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عُكُوْفًا بَيْنَ دَارِكَ
وَدَارِ أَبِي مُوْسَى، وَقَدْ عَلِمْتُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ اِعْتِكَافَ
إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، أَوْ قَالَ عَبْدُ اللهِ : إِلاَّ فِي
الْمَسْجِدِ الثَّلاَثَةِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : لَعَلَّكَ نَسِيْتَ وَحَفِظُوْا
dari Mahmud bin Adam al-Marwazi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Jami’ bin Abi Rasyid, dari
Abu Wa’il, ia berkata; Hudzaifah berkata kepada abdullah bin Mas’ud ra, …
antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah
saw bersabda. Tidak ada I’tikaf kecuali di masjidil Haram, atau beliau
bersabda, kecuali di tiga masjid. Kemudian Abdullah berkata; barangkali kamu
lupa sedangkan mereka ingat.
Mahmud
bin Adam adalah shaduq, hanya saja ia telah menyebutkan riwayat hadis[30] ini seorang sendiri dari Ibnu Uyainah, padahal beliau
memiliki banyak murid, dan tidak ada murid-murid Ibnu al-Uyainah yang
meriwayatkan hadis ini. Maka tak dapat diperkirakan bahwa Ibnu Uyainah telah menyembunyikan
hadis ini terhadap murid-muridnya, atau ingatan mereka tentang hadis ini
melemah sedangkan ingatan Mahmud bin Adam tetap kuat, sehingga ia mengemukakan
hadis ini dan mereka tidak mengemukakannya. Bila dilihat dari segi matan,–bahkan
juga di dalam sanadnya, dilihat dari segi rafa' (kebersambungan sampai
kepada Rasulullah saw)– tampak terdapat kemunkaran.
2. Hadis Syadz
Definisi
مَا خَالَفَ
فِيْهِ الْمَوْصُوْفُ بِالضَّبْطِ مَنْ هُوَ أَضْبَطَ مِنْهُ، أَوْ مَا انْفَرَدَ
بِهِ مَنْ لاَ يَحْتَمِلُ حَالَةَ قُبُوْلِ تَفَرُّدِهِ
Adalah
apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit menyelisihi rawi
yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan seorang diri oleh
rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima riwayatnya secara
kesendirian
Penjelasan
Definisi
Rawi
yang bersifat dlabith adalah
rawi yang hadisnya dapat diterima baik karena ia siqah hafidh, siqah,
siqah yukhthi’, atau shaduq hasan al-hadits
Rawi
yang lebih dlabith;
yaitu rawi yang tingkatnya lebih tinggi dari rawi pertama dari
segi kedlabithannya. Iistilah Siqah lebih tinggi dari shaduq.
Rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i dan Abu
Hatim lebih tinggi kedudukannya daripada rawi yang dinyatakan siqah oleh
Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i saja. Siqah hafidh lebih tinggi dari pada siqah
saja. dan seterusnya.
Hadis
yang dibawakan oleh rawi yang siqah apabila ia riwayakan seorang
diri dengan matan yang munkar. Atau bersendiri dengan hadis dari
seorang hafidh besar tetapi tidak diikuti oleh murid-murid yang lainnya
Syadz
kadang-kadang terjadi pada matan,
dan kadang-kadang terjadi pada sanad. Insya Allah akan diberikan contoh
untuk masing-masing jenis tersebut.
Contoh
1. Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang
lebih dlabith daripadanya dalam hal matannya.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan (92337) dengan jalan
sebagai berikut;
حَدَّثَنَا
هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى
Hammam
bin Yahya berkata, Telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari al-Hasan, dari
samurah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Setiap bayi tergadai dengan
aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambut kepalanya
dan diberi nama".
Abu
Dawud berkata Hamam berselisih dalam hal ini, dan bdia meragukan riwayat dari
Hammam. Mereka mengatakan “Yusamma” (diberi nama) sedangkan Hammam
mengatakannya “Yudamma”.
Hammam,
meskipun muridnya Qatadah, tetapi bukanlah termasuk murid pada generasi pertama,
tetapi ia seorang murid yang mengandung keraguan dalam meriwayatkan hadis dari Qatadah,
meskipun dia siqah. Banyak murid Qatadah yang lainnya dan yang lebih dhabith
dari Hammam meriwayatkan hadis yang berebeda dari hadis yang
diriwayatkannya. Para rawi itu menggunakan kata 'Yusamma'. Di antara mereka
adalah Sa'id bin Urwah (yang merupakan murid Qatadah yang paling kuat) dan Aban
bin yazid al-'Athar. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh Hammam
dengan lafadz seperti ini adalah syadz. Yang shahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh jama'ah.
Contoh
kedua, Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang
lebih dlabith daripadanya dalam hal sanadnya.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:382,402), Bukhari (1:52), Muslim 1:228),
Abu 'Awanah (1:198), Abu Dawud (23) at-Tirmidzi (13), an-Nasa'i (1:19,25) Ibnu
Majah (305), dengan jalan
عَنِ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ عَلَيْهَا قَائِمًا
فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَذَهَبْتُ لِأَتَأَخَّرَ عَنْهُ فَدَعَانِي حَتَّى كُنْتُ
عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Dari
al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi saw mendatangi
tempat pembuangan suatu kaum lalu beliau kencing di sana dengan berdiri, lalu
aku datang untuk berwudlu, lalu aku pergi untuk meninggalkannya, lalu beliau
memanggilku sehingga aku ada di belakang beliau, lalu beliau berwudlu dan
mengusap khufnya.
Hadis
seperti ini diriwayatkan pula dari al-A'masy oleh sejumlah ulama' seperti Ibnu
'Uyainah, Waki', Syu'bah, Abu 'Awanah, Isa bin Yunus, Abu Mu'awiyah, Yahya bin
'Isa ar-ramly, dan Jarir bin Hazm
Tetapi
Abu Bakar bin 'Iyasy menyalahi riwayat mereka. Status akurasi Ibnu 'Iyasy
adalah siqah tetapi memiliki beberapa kesalahan. Dia meriwayatkan hadis
tersebut dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari al-Mughirah bin Syu'bah
Abu
Zur'ah ar-Razi mengatakan, "Abu Bakar bin 'Iyasy telah melakukan kesalahan
dalam hadis ini. Yang benar adalah hadis dari al-A'masy dari Abu Wa'il, dan
Hudzaifah". Dengan demikian sanad hadis yang diriwayatkan melalui Abu
Bakar bin 'Iyasy adalah syadz, Allahu a'lam.
Contoh
3, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang
tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada matan.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah
(1216), ath-Thabrani di dalam al-Kabir (1:243) dengan jalan dari Abdurrahman
bin Bisyir bin al-Hakam, dari Musa bin Abdul 'Aziz al-Qanbari, dari al-Hakam
bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas …. hadis tentang salat tasbih.
Musa
bin Abdul Aziz al-Qanbari termasuk rijal yang shaduq, hanya saja hadisnya tidak
dapat diterima bila diriwayatkan hanya dari jalan dirinya saja, seperti halnya
hadis tersebut di atas. Al-hafidz Ibnu Hajar di dalam at-Talkhish al-Habir
(2:7) berkata, "Hadis Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, hanya saja ia
syadz karena beratnya kepribadiannya, dan tidak adanya tabi' dan syahid
(pendukung) dari jalan yang mu'tabar, dan berbedanya cara melakukan salat
tasbih dengan berbagai salat lainnya. Sedang Musa bin Abdul Aziz meskipun dia shaduq
shalih tidak mungkin diterima riwayat yang datang darinya seorang
diri"
Sebagian
ulama' berpendapat bahwa hadis Musa bin Abdul Aziz ini munkar, tetapi
sebagian lainnya menyatakan syadz. Menurut kami keduanya benar. Syadz
khusus berkaitan dengan kedlabithan, dan shaduq adalah termasuk
kategori dlabith, hanya saja ia ada setingkat di bawah siqah.
Sedangkan munkar khusus berkaitan dengan dla'if, dan lemahnya
tingkat shaduq merupakan salah satu indikasi kedla'ifan. Sehingga
apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri atau menyalahi riwayat yang lain,
dinamakan syadz atau munkar tidak menyalahi kaidah dalam ilmu mushthalah
hadis. Allahu a'lam.
Contoh
4, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang
tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada sanad.
Diriwayatkan
oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Malik, dari Zaid bin Aslam,
dari 'Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id al-Khudriy ra secara Marfu'; Sesungguhnya
perbuatan itu dengan niat"
Abdul
Majid ini dinyatakan siqah oleh beberapa orang, tidak hanya seorang
ulama'. Hanya saja dia meriwayatkan seorang diri dari Malik dengan sanad seperti
ini. Yang benar dari riwayat malik dan yang lainnya adalah dari yahya bin Sa'id
al-Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Alqamah dari Umar bin Khaththab.
Dengan demikian hadis Abdul majid adalah syadz.
Yang
harus diingat, bahwa periwayatan hadis seorang diri dari seorang rawi,
baik pada sanad ataupun matan, adalah salah satu jenis dari
kesalahan, ketika dia meriwayatkannya dalam bentuk tertentu, dan menyalahi
riwayat para rawi lainnya yang tidak menyebutkan riwayat seperti itu.
Hadis
Mahfudz dan Ma'ruf
Lawan
dari syadz adalah mahfudz, dan lawan dari munkar adalah ma'ruf.
Maksudnya,
ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dlabith dengan yang
lebih dhabith, riwayat yang rajih (kuat) itu dinamakan mahfudz.
Dan
ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dla'if dengan rawi yang
lebih kuat maka riwayat yang rajih dinamakan ma'ruf.
3. Hadis Mudraj
Definisi
هِيَ
أَلْفَاظٌ تَقَعُ مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ، مُتَّصِلَةٌ بِالْمَتَنِ لاَ يُبَيَّنُ
لِلسَّامِعِ إِلاَّ أَنَّهَا مِنْ صَلْبِ الْحَدِيْثِ
Hadis
Mudraj yaitu (adanya) lafal yang berasal dari sebagian rawi, bergandeng dengan
matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya saja lafal itu berada di
tengah hadis[31]
Macamnya
Mudaraj
ada dua macam, yatu mudraj matan dan Mudraj sanad.
A. Mudraj matan yaitu
apabila seorang rawi memasukkan beberapa kalimat ke dalam hadis nabi saw
dengan menyamarkan asal kalimat tersebut, bahwa sebenarnya berasal dari dirinya[32]
Berdasarkan pada letaknya, mudraj dibagi menjadi
tiga macam, yaitu;
1. Mudraj di awal matan. Mudraj jenis ini jarang ditemukan
Contoh hadis mudraj
di awal matan adalah; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi dengan jalan;
عَنْ أَبِي قَطْنٍ وَشِبَابَةِ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ
Dari Abu Qathn dan Syibabah, dari syu’bah, dari Muhammad
bin Ziyad, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersaba; Sempurnakan-lah
wudlu’, celakalah tumit orang yang berasal dari api neraka.
Kalimat asbighul
wudlu’ (sempurnakanlah wudlu’) dalam hadis tersebut, adalah kata-kata Abu
Hurairah.Yang menunjukkan bahwa kata itu dari Abu hurairah adalah hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya
عن آدَمَ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، فَإِنَّ أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: وَيْلٌ
لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Adam, dari Syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari
Abu Hurairah, “Sempurnakanlah wudlu’ karena Abu Qasim (Rasulullah) saw
bersabda; Celaka lah tumit orang yang
berasal dari api neraka".
2. Mudraj yang terletak di
tengah matan, jenis ini juga hanya
sedikit.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam
kitab as-Sunan (6/21) dengan jalan
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَخْبَرَِنِي أَبُوْ
هَاِنئٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجُنَبِيّ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ
عُبَيْدٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ: أَنَا زَعِيْمٌ –وَالزَّعِيْمُ الْحَمِيْلُ– لِمَنْ آمَنَ بِيْ
وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ وَبَيْتٍ فِي وَسَطِ
الْجَنَّةِ
Ibnu Wahb berkata, telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hani’
dari Amr bin Malik al-Junaby, bahwasannya ia mendengar Fadlalah bin Ubaid
berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, aku adalah pemimpin –pemimpin
adalah penanggung– bagi orang yang beriman kepadaku, memasuki Islam dan
berhijrah, pemimpin di dalam rumah yang berada di tepi sorga dan di tengah
sorga
Kata pemimpin adalah penanggung berasal dari Ibnu
Wahb.
3. Mudraj yang terletak di akhir matan,
inilah yang banyak dijumpai dalam hadis.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di
dalam kitab al-‘Ilal (1/65) dengan jalan;
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ هِشَامَ بْنِ
حَسَّان، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْن، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَسُهَيْلِ بْنِ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ
كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي اْلإِنَاءِ فَإِنَّهُ
لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفَ بِيَمِيْنِهِ مِنْ إِنَائِهِ
ثُمَّ لِيُصِيْبَ عَلَى شَمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَهُ
Dari Ibrahim bin Thahman, dari Hisyam bin Hisan, dari
Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah. dan Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya,
dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah
seorang diantaramu bangun tidur hendaklah membasuh telapak tangannya tiga kali
sebelum memasukkannya ke dalam bejana, sebab ia tidak tahu ke mana tangannya
bermalam. Kemudian hendaklah ia menciduk air dengan tangan kanannya dari bejana
itu kemudian menuangkannya ke tangan kirinya, lalu hendaklah ia membasuh
pantatnya.
Abu Hatim ar-Razi berkata, “Kalimat, 'Kemudian hendaklah
menciduk air… (sampai akhir matan hadis tersebut)' adalah kata-kata
Ibrahim bin Thahman. Ia telah menyambungkan kata-katanya dengan hadis sehingga
pendengar tidak bisa membedakan antara keduanya dengan mudah".
B. Mudraj Sanad
Mudraj ini
terbagi menjadi beberapa macam, yaitu;
1.
Seseorang
meriwayatkan sejumlah hadis dengan sanad yang berbeda-beda, lalu ia
menggabungkan semua sanad itu menjadi satu tanpa menerangkan perbedaan-perbedaan
yang ada.
2.
Seorang
rawi memiliki matan hanya sepotong saja. Sesungguhnya potongan matan
itu mempunyai sanad yang lain lagi. Lalu rawi itu meriwayatkan
hadis dari dirinya secara lengkap dengan sanad yang pertama tadi, padahal
hadis yang ia dengar langsung dari gurunya hanya sepotong, maka bisa dipastikan
ia mendengarkan dari hadis yang lengkap itu dari gurunya dengan perantaraan rawi
lain, tetapi rawi tersebut meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap
dan menggandengkan dengan sanad yang pertama dan tidak menyebutkan rawi
lain yang menjadi perantara antara dirinya dengan gurunya.
3.
Seorang
rawi memiliki dua matan yang berbeda dengan dua sanad yang
berbeda pula, lalu ada seorang rawi lain yang meriwayatkan kedua matan
darinya dengan mengambil salah satu sanad saja, atau mengambil salah
satu dari dua hadis itu dengan sanadnya dan menambahkan pada matan hadis
yang lainnya tersebut matan tersebut, yang sesungguhnya bukan merupakan bagian
dari matan hadis itu.
4.
Seorang
rawi menyebutkan suatu sanad, kemudian ada sesuatu yang
memalingkannya, lalu ia mengatakan suatu perkataan dari dirinya sendiri, tetapi
orang yang mendengarkannya mengira kata-kata itu adalah matan dari sanad
tersebut sehingga yang mendengarkan itu meriwayatkan hadis seperti yang ia
dengarkan itu[33].
4. Hadis Mukhtalath
Definisi
هُوَ مَا يَرْوِيْهِ مَنْ وُصِفَ بِنَوْعٍ مِنْ
أَنْوَاعِ اْلإِخْتِلاَطِ
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan
salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan)
Penjelasan
Definisi
Rawi; baik yang siqah
ataupun dla’if
Memiliki sifat salah satu jenis ikhtilath; seperti
terjadinya kekacauan ingatan sehingga kadang-kadang mencampurkan satu hadis
dengan hadis yang lain, di antara sebabnya adalah karena usia lanjut, atau
karena kitabnya terbakar.
Hukum Hadis Mukhtalath
Hadis Mukhtalath dilihat dari segi dapat diterima
atau tidaknya dibagi menjadi beberapa tingkatan;
Pertama,
dapat diterima hadis dari rawi yang mengalami ikhtilath, apabila ia
siqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadis
tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam
kitab Sunan (3/54)
أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ حَبِيبِ بْنِ عَرَبيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ قَالَ حَدَّثَنَا
عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّى بِنَا عَمَّارُ ابْنُ يَاسِرٍ
صَلَاةً فَأَوْجَزَ فِيهَا فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الْقَوْمِ لَقَدْ خَفَّفْتَ أَوْ
أَوْجَزْتَ الصَّلَاةَ فَقَالَ أَمَّا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ دَعَوْتُ فِيهَا
بِدَعَوَاتٍ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمَّا قَامَ تَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
Telah meberitakan kepada kami Yahya bin Habib bin Arabiy,
ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad, ia berkata; Telah
menceritakan kepada Kami Atha’ bin as-Sa’ib, dari ayahnya, ia berkata; Ammar
bin Yasir pernah melakukan suatu salat bersama kami dengan salat yang ringan
(pendek) lalu orang bertanya kepadanya, engkau telah meringankan shalatmu –atau
pendekkan– Lalu Ammar menjawab; Adapun
dalam hal itu aku telah berdoa di dalamnya dengan suatu do’a yang aku dengar
dari Rasulullah saw, lalu ketika beliau berdiri seseorang di antara kaum itu
mengikutinya…
Atha’ bin Sa’ib adalah siqah, hanya saja ia
mengalami ikhtilath di akhir usianya, dan Hammad yang meriwayatkan hadis
ini darinya adalah Hammad bin Zaid. Dia termasuk orang yang telah mendengar
hadis dari Atha' sebelum ia mengalami ikhtilath. Yahya bin Sa’id
al-Qaththan berkata, "Hammad bin Zaid telah mendengar dari Atha’ sebelum
ia mengalami ikhtilath". Demikian juga penilaian Abu hatim ar-Razi.
Kedua,
Tertolak hadis dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila rawi yang
meriwayatkan hadis darinya mendengarkan hadis setelah ia mengalami ikhtilath
Contohnya; hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (2602), at-Tirmidzi (3446) dan lain-lainnya dengan jalan;
حَدَّثَنَا
أَبُو إِسْحَقَ السَّبِعِيْ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
عَلِيًّا رَضِي اللَّه عَنْهم مَرْفُوْعاً إِنَّ رَبَّكَ يَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ
إِذَا قَالَ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
غَيْرِي
Dari
Abu Ishaq as-Sabi’iy al-Hamdani, dari Ali bin Rabi’ah al-Walibiy, dari Ali bin
Abi Thalib ra secara marfu’. Sesungguhnya Tuhanmu merasa heran kepada hamba-Nya
apabila ia mengatakan ampunilah dosa-dosaku, dan ia mengetahui bahwasannya
tidak ada yang mengampuni dosa selain diriku.
Abu Ishaq as-Sabi’iy seorang Mudallas, ia tidak mendengar
hadis ini dari Ali al-Walibiy. Al-Mizzi telah menukilkan di dalam kitab Tuhfatu
al-Asyraf (7/436) dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu’bah, ia berkata; Aku
bertanya kepada Abu Ishaq, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia
menjawab; dari Yunus bin Khabab, Lalu aku menjumpai Yunus bin Khabab, aku
bertanya kepadanya, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab;
dari seseorang yang mendengar dari Ali bin Rabi’ah.
Ahmad bin Mansur ar-Ramadi telah
meriwayatkan dari Abdur Razaq
ash-Shan’ani, ia berkata; Telah
mengkhabarkan kepadaku Ma’mar, dari Abu Ishaq, telah mengkhabarkan kepadaku Ali
bin Rabi’ah. Dikeluarkan oleh al-Mahamili, di
dalam kitab ad-Du’a (15) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Mu'jam al-Kubra.
Tetapi riwayat ini mengandung cacat.
Abdur Razaq seorang yang siqah hafidz, hanya saja ia mengalami ikhtilath
di akhir hidupnya. ar-Ramadiy belajar kepada Abdur Razaq setelah ia mengalami ikhtilath,
ketika itu ia mendiktekan hadis. Maka tak layak ar-Ramady mengatakan dalam
meriwayatkan hadis itu dengan ungkapan "mendengar".
Khusus untuk Imam Ahmad, beliau
telah meriwayatkan hadis
tersbut dari Abdur Razaq di dalam kitab Musnadnya (1/115) tidak dengan ungkapan yang bermakna mendengar secara langsung. Padahal Imam Ahmad termasuk orang yang mendengar hadis dari Abdur Razaq sebelum ia mengalami ikhtilath.
Ketiga; seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila
ia dla’if, baik orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia
mengalami ikhtilat, atau setelahnya. Yang demikian itu karena hadisnya
tertolak karena illah (sebab)
yang lain, bukan karena ikhtilath. Apabila disandarkan kepadanya ikhtilath,
maka menolak hadisnya lebih utama.
Contoh; Hadis Laits bin Abi Salim. Laits termasuk rijal yang dla’if lagi Mudtharib
hadis (goncang hadisnya), dan ia mengalami ikhtilath di akhir
usianya. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengalami ikhtilath di akhir usianya,
ia banyak mebolak-balikkan sanad, dan merafa’kan riwayat yang mursal,
dan membawa riwayat dari rawi siqat yang bukan dari hadis mereka”
Keempat; Mendiamkan hadis rijal mukhtalith yang siqah,
apabila riwayat orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya
sehingga hadisnya diketahui derajatnya. Apabila
ada kesesuaian dengan para rawi yang siqat, maka hadisnya dapat
diterima, apabila tidak sesuai maka hadisnya tertolak.
Contohnya; Hadis Hammad bin Salmah dari Atha’ bin
as-Saib, sesungguhnya ia mendengar dari Atha’ sebelum dan setelah ikhtilath,
sebagaimana telah kami tegaskan di dalam kitab adl-Dla’if min Qishat
al-Isra’ wa al-Mi’raj, h. 27.
5. Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
Definisi
هُوَ أَنَّهُ
يَزِيْدُ رَاوٍ فِي اْلاَسَانِيْدِ رَجُلاً لَمْ يَذْكُرْهُ غَيْرُهُ
Seorang
rawi menambahkan seseorang rijal di dalam suatu sanad, yang tidak disebutkannya
di dalam sanad lainnya[34]
Penjelasan Definisi
Seorang rawi di dalam suatu sanad menambahkan
seorang rijal dalam sanad suatu suatu khabar atau hadis,
baik dengan disebutkan namanya atau disembunyikan namanya (mubham).
Tambahan rijal tersebut tidak disebutkan oleh para rawi itu di
dalam jalur sanad yang lain.
Syarat
Mazid fi Muttashil Asanid
Adanya pernyataan bahwa seorang rawi telah
menerima hadis dalam bentuk as-Sima’ (mendengar) dari gurunya di tempat
adanya tambahan itu. Jika pernyataan rawi itu tidak dalam bentuk as-sima', melainkan
menggunakan bentuk mu’an’an pada jalur sanad yang tanpa ziyadah,
maka ziyadah itu menjadi rajih (kuat)[35]. Sebab jallur yang tanpa ziyadah dimungkinkan terjadi
irsal atau tadlis. Untuk mencapai kesimpulan yang sahih hendaklah dicari qarinah
dan bukti-buktinya. Selanjutnya dapat ditentukan riwayat yang sahih.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (2/386, 416 dan 467) dan Muslim (3/1466), Abu Awanah (2/109) dengan jalur
sanad dari Abu 'Awanah;
عَنْ يَعْلَى
بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَلْقَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ
الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Dari
Ya'la bin ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Abu Alqamah berkata, Aku mendengar Abu
Hurairah ra berkata; Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mentaatiku
maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia telah
durhaka kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku maka ia telah
mentaatiku, dan barangsiapa yang mendurhakai amir (pemimpin)ku maka ia telah
durhaka kepadaku.
Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i
di dalam Sunan-nya (8/276)
dengan sanad sebagai berikut;
أَخْبَرَنَا
أَبُوْ دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْوَلِيْدِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ حَدَّثَنِي أَبْوْ
هُرَيْرَةَ ...
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Dawud, ia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Ya’la bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari
Abu ‘Alqamah, Abu Hurairah telah menceritakan kepadaku ….
Di
dalam sanad di atas ada tambahan 'Atha' yaitu ayah Ya'la. Inilah yang dinamakan Mazid fi Muttasil al-Asanid. Muslim di
dalam kitab Shahihnya menyebutkan riwayat yang tidak ada ziyadahnya
bahwa Ya’la bin Atha’ telah menjelaskan bahwa ia menerima hadis dari gurunya,
yaitu Abu 'Alqamah, dengan cara as-sima’.
6. Hadis Maqlub
Definisi
مَا خَالَفَ
فِيْهِ الرَّاوِي مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ فَأَبْدَلَ فِيْهِ شَيْئًا بِآخَرٍ
فِي سَنَدٍ أَوْ فِي مَتَنٍ، سَهْوًا أَوْ عَمْدًا
Apabila
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berbeda dengan riwayat rawi yang lebih siqah, karena di dalamnya terdapat pertukaran suatu kalimat
dengan lainya, baik di dalam sanad ataupun
di dalam matan,
karena lalai atau sengaja.
Bentuknya
Di antara bentuk hadis maqlub adalah terbalik
salah satu nama rawi di dalam sanadnya, seperti Murrah bin Ka’b
dikatakan Ka’b bin Murrah
Atau berubahnya suatu kata di tempat yang lainnya pada
suatu matan, seperti di dalam hadis Ibnu Umar ra “Maka saya dengan
nabi duduk di tempat duduk beliau dengan menghadap kiblat dan membelakangi
Syam”. Hadis itu terbalik, yang benar adalah, “Menghadap Syam dan
membelakangi Ka’bah”
Atau bisa juga tertukarnya suatu sanad
dengan matan yang lain
Barangsiapa yang melakukan kesalahan seperti ini maka
kualitas akurasi (dlabth)nya, berdasarkan apa yang telah terjadi adalah
meragukan, sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu. Apabila hal itu
disengaja, maka ia termasuk pengkhianat dan pendusta. Apabila ia menghubungkan
suatu sanad dengan matan, maka ia termasuk pencuri hadis, yang
tercela keadilannya.
7. Hadis Mudltharib
Definisi
الْحَدِيْثُ
الَّذِي يَرْوِيْهِ الرَّاوِي الَّذِي لاَ يَحْتَمِلُ تَعَدُّدُ اْلأَسَانِيْدِ
عَنْهُ مَرَّةً بِسَنَدٍ وَمَرَّةً أُخْرَى بِسَنَدٍ آخَرٍ مُخَالِفٍ بِحَيْثُ لاَ
يُمْكِنُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا
Yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mungkin memiliki beberapa
sanad darinya, suatu kali dengan sebuah sanad, dan lain kali dengan sanad
lainnya yang berbeda, di mana antara keduanya tidak mungkin dikompromikan.
Penjelasan
definisi.
Hadis Mudltharib
ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi; baik siqah, shaduq,
atau bahkan dla’if yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya
sebagaimana halnya rawi yang hafidh lagi siqah seperti
az-Zuhri, Malik dll. Rawi itu mungkin sekali meriwayatkan hadis lebih dari satu
sanad, sehingga tidak dianggap terjadi idlthirab (goncang) karena
banyaknya hadis yang didengarkannya atau yang diriwayatkannya, kecuali jika ada
perbedaan yanag sangat jelas. Suatu kali ia meriwayatkan hadis dengan sebuah
sanad, dan lain kali meriwayatkan dengan sanad lain yang berbeda dan antara berbagai
sanad yang ada tersebut tidak mungkin dikompromikan
Contohnya
يَبِيْتُ
قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوْنَ
وَقَدْ مُسِخُوْا قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ وَلَيُصِيْبَنَّهُمْ خَسَفٌ وَقَذَفٌ حَتَّى يُصْبِحَ النَّاسُ
فَيَقُوْلُوْنَ خَسَفَ اللَّيْلَةُ
بِبَنِي فُلاَنٍ وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ حَاصِبًا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ
كَمَا أُْرْسِلَ عَلَى قَوْمِ لُوْطَ عَلَى قَبَائِلٍ فِيْهَا وَعَلَى دَوْرٍ
فِيْهَا وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ الرِّيْحَ العَقِيْمَ الَّتِيْ أَهْلَكَتْ
عَادًا بِشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ
وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيْرَ
Suatu
kaum di antara ummat ini bermalam dengan makanan, minuman dan permainan, lalu
pagi harinya mereka telah diubah menjadi kera dan bab. Dan sungguh mereka telah
ditimpa kehinaan dan sehingga ketika orang-orang bangun pagi mereka mengatakan
telah terjadi semalam telah terjadi malapetaka di rumah si fulan dan dikirimkan
kepada mereka hujan batu dari langit seperti yang pernah menimpa kaum nabi
Luth, terhadap beberapa kabilah di antara mereka, beberapa rumah di antaranya,
dan dikirimkan angina rebut yang menghancurkan kaum 'Ad karena mereka meminum
khamr, memakan riba, menjadikan perempuan sebagai penyanyi-penyanyi dan memakai
sutera.
Hadis ini telah
diriwayatkan oleh Farqad as-Sabakhi dengan enam versi yang berbeda-beda. Farqad
adalah dikenal sebagai salah seorang rawi yang dla’if. Karena
itulah riwayatnya dikatakan idlthiraab (goncang)
Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matan, dan
kadang-kadang pula terjadi pada sanad. Tetapi idlthirab yang
terjadi pada matan jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi
pada sanad.
1. Apa Hukum
Hadis Mukhtalath
2.
Definisikan istilah berikut ini
ZIdraj
ZHadis Maqlub
3. Apa
perbedaan dari istilah beerikut ini
ZHadis Munkar
dan Hadis Syadz
ZMazid fi Mutashi
al-Asanid dengan Hadis Mudallas
Hadis Mu’allal
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِي أُطْلِعَ فِيْهِ عَلَى عِلَّةٍ تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهِ مَعَ
أَنَّ ظَاهِرُهُ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Yaitu
hadis yang di dalamnya terungkap adanya cacat sehingga menyebabkan rusak kesahihannya, padahal secara dhahir hadis itu terbebas
dari cacat tersebut
Cara
mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat sehingga termasuk mu'allal ataukah
tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya,
mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar
(analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan
kebenarannya.
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, Cara mengetahui illah
hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan
rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan,
dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali al-Madini
mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan
tampak kesalahannya
Illah kadang-kadang
terjadi pada sanad dan kadang-kadang terjadi pada matan.
Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah
menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb al-Mala’I, dari al-A’masy dari
Anas, ia berkata,
كَانَ
النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ
يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُو مِنَ اْلأَرْضِ
Apabila
Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka (mengangkat)
pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.
Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (14), Abu Isa ar-Ramli di
dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50)
Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya
siqah, hanya saja al-A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung
dari Anas bin Malik ra. Ibnu al-Madini mengatakan, “al-A’masy tidak pernah
mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah,
ketika salat ada di belakang Maqam”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jenis hadis ini telah
kami bahas tersendiri dalam satu buku yang khusus. Buku itu juga berfungsi
untuk latihan menyingkap adanya ‘ilal (cacat) pada suatu hadis. Buku
tersebut kami beri nama “Tadrib ath-Thalabah 'ala takwin al-malakah"
(Melatih siswa untuk menanamkan kecakapan), yaitu pada bagian ketiga dari buku
ini.
Hadis Musalsal
Definisi
التَّسَلْسُلُ
هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ تَسَلْسُلِ رِجَالِ اْلإِسْنَادِ جَمِيْعُهُمْ عَلَى صِفَةٍ
أَوْ حَالَةٍ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرِّوَايَةِ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ
لِلرُّوَاةِ
at-Tasalsul
adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada
memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama. Kadang-kadang pada sifat suatu
riwayat, dan kadang-kadang pada sifat rawi.
Penjelasan definisi
at-Tasalsul
adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad,
seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama; dari awal sanad
hingga akhir sanad.
Kadang-kadang persamaan sifat itu ada pada riwayat;
Seperti hadis musalsal dengan sima’, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh para rawi, yang seluruhnya menyatakan telah mendapatkan hadis
dengan cara mendengar dari gurunya.
Kadang-kadang sifat yang berangkai itu ada pada rawi;
seperti seluruhnya mereka orang-orang Mesir, yaitu musalsal dengan
periwayatan orang-orang Mesir, atau hadis tentang menyilangkan tangan, atau musalsal
dengan rawi yang bernama Muhammad.
Contohnya
Hadis yang musalsal dalam membaca Sabbaha
lillahi maa fis samawati wa maa fil Ardl, wa huwal Azizul Hakim
Dan hadis yang musalsal dengan kata, “Sesungguhnya
aku mencintaimu karena Allah”
Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Hadis dilihat dari akhir sanadnya
dibagi menjadi tiga, yaitu
Pertama
Marfu’;
كُلُّ
حَدِيْثٍ نُسِبَ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ
فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
yaitu
setiap hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw, baik perkataan, pekerjaan,
taqrir (ketetapan) atau sifat.
Kedua,
Mauquf;
مَا نُسِبَ
إِلَى الصَّحَابِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
yaitu
hadis yag dinisbahkan kepada Shahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir
Ketiga,
Maqthu’;
مَا نُسِبَ
إِلَى التَّابِعِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
yaitu
setiap hadis yang dinisbahkan kepada Tabiin, baik perkataan maupun perbuatan
|
1. Bagaimana
cara mengetahui adanya illah di dalam suatu hadis?
2.
Definisikan istilah berikut!
a.
Hadis
Mu’allal
b.
Hadis
Musalsal
3. Apa
perbedaan antara istilah berikut
a.
Marfu’ dan Mauquf
b.
Khabar dan Maqthu’
[1] HR Muslim
[2]
An-Nukat ‘ala Ibni ash-Sholah, Ibnu Hajar, j.1 h.225
[3] Tadrib
ar-Rawi, as-Suyuthy, j.1 h.41
[4]
Muqaddimah Ibni Sholah, h.11
[5] Nuzhat
an-Nadhr, h.51
[6] Ibid
[7] Ibid,
h.52
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu
Sa’d di dalam kitab ath-Thabaqat, dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah,
dan juga al-Khathib di dalam kitab Taqyid al-Ilmu
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dan al-Khathib di
dalam Taqdim al-Ilmu, dan ad-Darimi menyebutkan di dalam kitab as-Sunan
seperti itu
[13]
Lihat, Ulumul al-Hadits, Ibnu Sholah, h.20. Juga dikeluarkan oleh
al-Khathib di dalam kitab Tarikh al-Baghdad, j.2, h.8 dengan sanad yang
sampai kepada beliau (al-Bukhari), “Aku tampilkan di dalam kitab ini –yakni
ash-Shahih- dari sekitar 600 ribu hadis”
[14] Tarikh
al-Baghdad, j.2, h.8, dan Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahaby, j.12,
h.401
[15] Lihat, as-Siyar, j.12, h.566
[16] Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, j.1, h.14
[17] Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi,
j.1, h.112
[18] Ar-Risalah
al-Mustathrafah, al-Kutabi, h.32, dengan perubahan redaksi
[19] Pendapat Ibnu Katsir di
dalam Mukhtashar ‘Ulum al-Hadits, h.29, “Pendapat al-Hafidz Abu Ali bin
as-Sakan, dan demikian pula al-Khathib al-Baghdadi tentang kitab as-Sunan karya
an-Nasa’i, “Ia shahih tetapi perlu diteliti ulang.”
[20] Ushul
at-Takhrij, h.199, dengan penyederhanaan redaksi.
[21]
Ibid, h.43
[22] Taisir Mushthalah
al-Hadits, Mahmud Thahhan, h.50, dengan perubahan reaksi pada akhir
kalimatnya.
[23] Pendapat ini menurut madzhab
muta’akhirin, adapun menurut pendapat mutaqaddimin ia tetap
dla’if meskipun ada pengikutnya.
[24] Jika sanad yang hilang
termasuk guru penyusun kitab dan gurunya sang guru , hadis itu dinamakan mu’allaq.
Hadis Mu’alaq akan dibahas setelah ini.
[25] Lihat Hadyu as-Sari,
al-Hafidh Ibnu Hajar, h.14
[26] Adapun secara terperinci,
pembahasan tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan
yang berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu
an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah
merujuk ke sana.
[27] Ta’rif Ahli at-Tadlis
Bimaratib al-Muwashsahafin bi at-Tadlis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan
ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadlis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah
Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari, h.10.
[28] Terdapat perbedaan pendapat
tentang beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala
al-Alsinah al-Wafidah
[29] Inilah madzhab mutaakhirin
[30] Kalau seandainya hadis itu ada penguatnya
tetapi dla'if. Lihatlah penjelasan yang lebih terperinci dalam hady an-nabi fi
Syahri Ramadhan, h. 51.
[31] Al-Mauqidhah, adz-dzahabi, h. 35
[32] an-Nukat 'ala Ibni ash-Shalah,
al-Hafidz Ibnu Hajar, 2:811
[33] Nazhatu an-Nadhr, h. 100
[34] Mukhtashar 'Ulum al-Hadis, Ibnu
Katsir, h. 171
[35] Nuzhatu an-Nadhar, h. 102
بسم الله الرحمن الرحيم
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: هُمْ عِنْدِيْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
رواه الخطيب في شرف أصحاب الحديث (42) بسند صحيح
ILMU HADIS
Untuk Pemula
Oleh Amru Abdul Mun’im Salim
Judul : Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in
Penulis : Amr Abdul
Mun'im Salim
Penerbit : Maktabah Ibnu
Taymiyah, Kairo, Mesir
Tahun terbit : 1417 H – 1997 M
Penerjemah : Budi Prasetyo
Daftar Isi
Muqaddimah
Definisi Ulumul hadis
Definisi hadis, Khabar dan Atsar
Hadis Sahih
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Al-Mustakhraj terhadap Kitab ash-Shahihain
Sekilas tentang kitab-kitab Sunan
Soal-soal Diskusi
Hadis Hasan
Hadis Shahih Lighairihi
Hadis Dla'if
Pembagian Hadis Dla'if
Hadis Hasan Lighairihi
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if Karena Cacat pada Sanad
- Mursal
- Munqathi'
- Mu'dlol
- Mu'allaq
- Mudalas
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if karena Trrdapat Cacat pada 'Adalah rawi
- Hadis Maudlu'
- Hadis Matruk
- Pembahasan tentang Jahalah (Majhul)
- Hadis Mubham
- Pembahasan tentang Bid'ah
Soal-soal Diskusi
Hadis Dla'if karena Kelemahan pada kedlabithab rawi
- Hadis Munkar
- Hadis Syadz
- Hadis Mudraj
- Hadis Mukhtalath
- Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
- Hadis Maqlub
- Hadis Mudltharib
Soal-soal Diskusi
Hadis Mu'allal
Hadis Musalsal
Marfu' Mauquf dan Maqthu'
Soal-soal Diskusi
Daftar Gambar
Gambar 1: Skema tentang Khabar, haadis dan atsar
Gambar 2 : Skema tentang pengelompokan hadis dari segi diterima atau
tidak
Gambar 3 : Skema hadis mursal
Gambar 4 : Skema hadis munqathi'
Gambar 5 : Skema hadis mu'dlal
Gambar 6 : Skema hadis mu'allaq
Gambar 7 : Skema keadaan hadis dilihat dari tidak dikenal (majhul)nya
rawi
Gambar 8 : Skema hadis 1) marfu', 2) hadis mauquf, dan 3) maqthu'
Muqaddimah
Bismillahirrahmanirrahim
Sesungguhnya,
segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon
ampunan-Nya, dan kami memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan diri
kita dan kejahatan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapat petunjuk
Allah, maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka tak akan ada yang kuasa menujukinya.
Aku
bersaksi bahwasannya tiada Ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya
Semoga
kesejahteraan dan keselamatan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad,
keluarga dan sahabat beliau.
Amma Ba’du
Sebagian
dari saudara-saudaraku seiman telah memintaku untuk menyusun sebuah materi Ilmu
Mushthalah Hadis yang lengkap tetapi singkat, yang isinya mencakup
batasan, kaidah dan aturan, serta adab, untuk membantu mereka di dalam memahami
istilah-istilah ahli hadis di dalam tulisan-tulisan mereka.
Setelah beristikharah, lalu saya memohon
pertolongan kepada Allah untuk menyusun apa yang mereka minta, dan
merealisasikan apa yang mereka harapkan. Saya melakukan ini semata-mata adalah
untuk mengharapkan ridla Rabbil Karim, dan dalam rangka mengamalkan sabda Nabi
saw,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang anak Adam
meninggal maka terputuslah amalnya kecuali karena tiga hal, shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya”[1]
Karena itulah saya memohon taufiq
dan petujuk kepada Allah swt, agar kiranya dihindarkan dari kesalahan dan
kekeliruan. Sesungguhnya Dia lah Ahlu taqwa dan Ahlu maghfirah, Walhamdulillahi
Rabbil Alamin
Penulis
Definisi Ulumul Hadis
Definisi
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدَ
الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِي
Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang
menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat)
dan marwi (materi yang diriwayatkan)[2]
Ada
pendapat lain yang menyatakan
هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ
السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Penjelasan Definisi
Sanad
adalah rangkaian rijal yang
menghantarkan kepada matan
Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Contoh-contoh
Al-Bukhari
meriwayatkan hadis berikut, di dalam kitabnya yang ber-nama ash-Shahih, Bab Kayfa
kana bad’ al-wahyi ila Rasulillah saw, j. 1, h. 5
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ
وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم
عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah
menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad
bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi
berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah
saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya
setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya
(diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan
Yang
dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْر،ِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم
عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ
Sedangkan matan pada hadis di atas adalah;
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan
antara hadis sahih dan dla’if.
Definisi Hadis, Khabar Dan Atsar
Definisi
الْحَدِيْثُ
مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَوَاءً كَانَ
قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Hadis adalah segala sesuatu
yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
ataupun sifat
الْخَبَرُ
مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ
أَصْحَابِهِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ
دُوْنَهُمْ
Khabar adalah segala sesuatu
yang datang dari Nabi saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in,
tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
الأَثَرُ مَا
جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الصَّحَابَةِ
أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Atsar adalah segala yang
datang selain dari Nabi saw, yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi
setelah mereka
Contah-contoh
Contoh
hadis qouly (perkataan)
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu
dengan niat
Contoh
hadis fi’ly (perbuatan) adalah hadis dari Aisyah ra.
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ
جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
Nabi saw apabila akan tidur,
sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau berwudlu seperti wudlu untuk
shalat
Contoh
hadis taqriry (persetujuan) adalah hadis dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ
خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْناً
وَأَضْبًا وَأَقْطاً فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ مِنَ الْأَقْطِ وَتَرَكَ
الْأَضْبَ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَلَوْ كَانَ حَرَاماً مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa bibinya memberi hadiah
kepada Rasulullah saw berupa mentega, daging biawak dan keju, lalu beliau
memakan mentega dan keju dengan meninggalkan daging biawak karena merasa jijik,
tetapi daging itu dimakan di meja makan rasulullah saw, seandainya haram maka
tak akan dimakan di meja Rasulullah saw
Contoh
hadis sifat, yaitu hadis yang memuat sifat pribadi nabi saw, adalah hadis dari
Anas ra;
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ
وَلاَ بِالْقَصِيْرِ حَسَنُ الْجِسْمِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ
سَبْطٍ أَسْمَرُ اللَّوْنِ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ
Rasulullah itu tingginya
sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tubuhnya bagus, rambutnya tidak keriting
dan tidak lurus, warnanya coklat, apabila berjalan rambutnya bergoyang.
|
Hadis Sahih
Definisi
Hadis Shahih
هُوَ
الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ
الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang
musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir
sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.[4]
Untuk
memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadis sahih
adalah hadis yang mengandung syarat-syarat berikut;
1.
Hadisnya musnad
2.
Sanadnya bersambung
3.
Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4.
Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadis tersebut dinisbahkan kepada nabi saw
dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di
depan.
Sanadnya bersambung,
bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung
dari gurunya
Para
rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam sanad itu memiliki
sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil dan dhabith?
Adil adalah sifat
yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta
menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah[5].
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal
hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia
akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari
gurunya Dlabith ini ada dua macam, yaitu;
1.
Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah
didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang
sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun
dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya[6].
2.
Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi
tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang telah didengarnya dari
salah seorang atau beberapa gurunya,
dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan
hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya.
Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak
hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.
Tidak
ada syadz. Syadz secara
bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadis yang diriwayatkan
oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadis dari periwayat lain
yang lebih kuat darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci, akan
dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Tidak
ada illah, Di dalam
hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadis. Tentang
hadis mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri[7].
Contoh Hadis Sahih
Hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya j.4 h.18, kitab
al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ،
وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar
ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a
; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat
pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah
(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab
di neraka
Hadis
tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, karena.
1.
Ada
sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
2.
Ada
persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin
Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman
bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara
mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari
ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan
telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan
telah mendengar hadis ini dari gurunya.
3.
Terpenuhi
keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad,
mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang
mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a.
Anas
bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua
shahabat dinilai adil.
b.
Sulaiman
bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli
ibadah).
c.
Mu’tamir,
dia siqah
d.
Musaddad
bin Masruhad, dia siqah hafid.
e.
Al-Bukhari
–penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia
dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul
mu’minin fil hadis.
4.
Hadis
ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5.
Hadis
ini tidak ada illah-nya
Dengan
demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadis
sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di dalam kitabnya ash-Shahih.
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang
pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadis nabi adalah Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri al-Madani (rahimahullah)
Shalih
bin Kaisan berkata, “Aku berkumpul dengan az-Zuhri ketika menuntut ilmu, lalu
aku katakan, ‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami menulis khabar
(berita) yang datang dari Nabi saw. Kemudian az-Zuhri mengatakan, ‘Mari kita
tulis yang datang dari shahabat, karena ia termasuk sunnah juga’. Aku katakan,
‘Itu bukan sunnah, sehinga tidak perlu kita tulis’. Meski demikian az-Zuhri
tetap menuliskan berita dari shahabat sedangkan aku tidak, akhirnya dia
berhasil sedangkan aku gagal”[8].
Ketika
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra merasa khawatir akan merosot dan hilangnya ilmu
karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan hadis Rasulullah saw
seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis Rasulullah saw atau
sunnah, atau hadis dari ‘Amrah[9],
maka tulislah karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama’[10]”
Ibnu
Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan
menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”[11]
Peristiwa
tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian setelah
az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang
membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim,
Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan
setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode penulisan
yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan
mustakhraj. Imam as-Suyuthi, dalam hal ini mengatakan di dalam kitabnya Alfiyah,[12]
Orang pertama yang mengumpulkan hadis dan atsar adalah
Ibnu Syihab
atas perintah ‘Umar
Dan yang pertama-tama mengumpulkan hadis berbab-bab,
adalah sekelompok ulama’ di masa yang tak jauh
(setelahnya)
Seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Malik,
Ma’mar, dan
anak (Ibnu) al-Mubarak
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Kemudian setelah generasi mereka
muncul imam huffadz dan amirul mukminin fil hadis, Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih dalam satu kitab hadis yang
diseleksi dari 100 ribu hadis sahih yang beliau hafalkan. Disebutkan di dalam
suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100 ribu hadis sahih, dan 200
ribu hadis yang tidak sahih”[13]
Adapun gagasan yang membangkitkannya
untuk menulis kitab Jami’ ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh
Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq
bin Rahawiyah, lalu sebagian kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau
mengumpulkan sebuah kitab ringkas tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu
terbetiklah di dalam hatiku keinginan untuk menuliskannya, lalu aku mengambil
keputusan untuk mengumpulkan hadis shahih di dalam kitab ini”[14]
Kemudian muridnya, dan pengikut
metode beliau al-Imam, huffadz al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj
bin Muslim bin Ward bin Kausyan al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah)
mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo
15 tahun[15].
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab
tersebut dengan sikap menerima, dan bersepakat bahwa keduanya adalah kitab
paling shahih setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata[16], “Para ulama’ sepakat bahwa kitab
paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim, dan ummat menerima keduanya”
Hanya saja sebagian ulama’, seperti
ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu
Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadis di dalam kedua kitab tersebut,
.
Tetapi kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’
seperti an-Nawawy di dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam
kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari. Dan di antara tokoh yang
zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, beliau telah menulis
sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina al-Imamain Muslim wa
ad-Daruquthny. Kitab
tersebut berisi pembelaan
terhadap Shahih Muslim dari para pengritiknya.
Al-Mustakhraj Terhadap Kitab ash-Shahihain
Definisi
Al-Mustakhraj
adalah suatu kitab hadis yang
ditulis oleh seorang ulama’ dengan mentakhrijkan (menuliskan riwayat)
hadis-hadis yang sudah dibukukan di dalam suatu kitab hadis dengan sanadnya
yang sama tetapi dari jalan yang lain dari pengarang kitab mustakhraj ‘alaih
(yang dimustakhrajkan), lalu periwayatan mereka bertemu pada gurunya
(penulis kitab yang dimustakhrajkan) atau guru yang lebih tinggi, sampai
kepada shahabat.
Syaratnya, tidak sampai kepada syaikh dengan jalan yang lebih
panjang sehingga menghilangkan sanad yang menghantarkan kepadanya yang
lebih dekat, kecuali dengan alasan uluw (ketinggian) atau ada ziyadah
(tembahan) yang penting. Bisa jadi Mustakhraj menggugurkan hadis-hadis
yang sanadnya yang tidak memuaskan dan bisa pula menyebutkan hadis-hadis
itu dengan jalan penulis kitab yang dimustakhrajkan.[17]
Contoh;
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.1,
h.222, Kitab ath-Thaharah, Bab Khishol al-Fithrah;
حَدَّثَنِي
أَبُوْ بَكْر بْنُ إِسْحَاق أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ
يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جروا الشوارب وأرخوا اللحي
وخالفوا المجوس
Telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Ishaq, Telah
memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin
Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata,
Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan
berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Hadis
ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim
j.1, h.188, dan dalam sanadnya terjadi pertemuan dengan sanad Imam Muslim
pada guru beliau, yakni Ibnu Abi Maryam. Bandingkan hadis tersebut dengan hadis
berikut ini!
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاق الصَّغَانِي قال أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احفوا
الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْيَ وَخَالِفُوا الْمَجُوْسَ
Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq
ash-Shaghani, ia berkata; Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam,
telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku
al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan
panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Bukanlah
suatu yang sangat urgen untuk menyebutkan sama persis antara matan (teks
hadis) yang ada di dalam kitab al-Mustakhraj dengan matan yang
ada di dalam kitab ash-Shahih (yang disebut juga al-mustakhraj ‘alaih),
sebagaimana yang terlihat di dalam contoh di atas.
Demikian
juga, kadang-kadang hadis di dalam kitab al-Mustakhraj ada ziyadah
(tambahan) matan, tidak sebagaimana yang tertulis di dalam kitab ash-Shahih.
Untuk itu apabila di dalam al-Mustakhraj salah satu kitab ash-shahihain
terdapat ziyadah, kita tidak secara otomatis menganggap tambahan matan
itu sahih sehingga diadakan peninjauan terhadap sanadnya.
Kitab-kitab Al-Mustakhraj.
Sejumlah
ulama’ yang berminat untuk menuliskan al-Mustakhraj antara lain;
1.
Mustakhraj al-Isma’ily,
2.
Mustakhraj al-Ghithrify,
3.
Mustakhraj Ibnu Abi Dzuhal.
Ketiga
kitab tersebut adalah mustakhraj kitab Shahih al-Bukhari. Adapun
kitab-kitab Mustakhraj untuk Shahih Muslim adalah;
1.
Mustakhraj Abu Awanah,
2.
Mustakhraj al-Hairy,
3.
Mustakhraj Abu Hamid al-Harawy.
Dan
di antara kitab Mustakhraj kedua kitab Shahih, adalah;
1.
Mustakhraj Abu Nu’aim al-Ashbahany,
2.
Mustakhraj Ibnu al-Akhram,
3.
Mustakhraj Abu Bakar al-Barqany
Sekilas Tentang Kitab-kitab Sunan
Para pelajar hendaklah mendalami kitab-kitab sunan
seperti Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Musnad
karya Imam Ahmad.
Yang dimaksud dengan Kutub as-Sittah; adalah ash-Shahihain,
Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan
Ibnu Majah.
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang
ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat,
dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadis marfu’, sedikit dan jarang
sekali memuat khabar mauquf[18].
* * *
SUNAN ABU DAWUD
Penyusunnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin
Ishaq al-Azdi as-Sijistani. Beliau mengkhususkan kitabnya dengan hadis-hadis
hukum, di dalamnya tidak terdapat kitab zuhud dan fadha-ilul a’mal.
Di dalam surat beliau kepada penduduk Makkah, dalam mengomentari kitabnya
sendiri (h.34), beliau berkata, “Dan tidaklah aku menyusun di dalam kitab as-Sunan
ini melainkan hadis-hadis hukum, tidak aku masukkan kitab zuhud, fadha-ilul
a’mal dll”
Kitab beliau yang bernama as-Sunan adalah salah
satu kitab yang sangat dibutuhkan, hanya saja beliau tidak mempersyaratkan
derajat sahih untuk hadis yang tercantum di dalamnya. Sehingga di
dalamnya berisi hadis sahih, hasan,
shalih, dla’if, dan munkar.
Beliau juga tidak mempersyaratkan disebutkannya semua
hadis tentang suatu bab, tetapi hanya dipilihkan yang bermanfaat saja, dan
kadang-kadang beliau menyebutkan satu hadis dari jalan yang berbeda-beda karena
ada ziyadah, baik dalam matan maupun sanad. Dan
kadang-kadang pula dibicarakan pada sebagian hadis tentang i’lalnya,
menyebutkan ikhtilaf (perbedaan) perawinya.
Beliau telah membicarakan kitab Sunannya secara
terperinci di dalam surat yang beliau tulis untuk penduduk Makkah. Ini adalah
surat yang sangat bermanfaat, semoga Allah swt. Memberikan
rahmat kepada beliau dengan rahmat yang luas.
* * *
JAMI’ AT-TIRMIDZI
Penyusunnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah,
bin Musa bin adh-Dlahhak as-Sulami, al-Bughi, at-Tirmidzi. Beliau mengalami
kebuta-an di akhir usianya.
Sebagaimana yang telah saya baca di dalam suatu manuskrip
kitab Jami’ yang mu’tamad, yang benar kitab Imam Tirmidzi bernama
al-Jami’ al-Kabir. Kemudian ada yang menyebutnya secara berlebihan
dengan nama al-Jami’ ash-Shahih, tetapi nama inilah yang masyhur. Hanya saja, di dalam kitab ini
terdapat sejumlah hadis dla’if, munkar, dan maudlu’.
Tirmidzi adalah murid Imam Bukhari, dan pengikut beliau
dalam metode penulisan hadis. Beliau juga banyak menukil pendapat Imam Bukhari
dalam membicarakan kondisi periwayat, sima’ (cara mereka mendengarkan
hadis), dan i’lal terhadap hadis periwayat tersebut.
Metode penulisan Kitab Jami’ ini berbeda dengan
metode yang digunakan oleh Abu Dawud dalam menuliskan kitab Sunan,
khususnya at-Tirmidzi memasukkan bab-bab tentang zuhud dan fadha-ilul
a’mal, bab yang tidak dicantumkan di dalam Sunan Abu Dawud.
Kitab ini adalah kitab yang menyeluruh, besar manfaatnya,
terkumpul di dalamnya ilmu riwayah hadis, dirayah, i’lal, ahwal
rijal, dan madzhab-madzhab ahli ilmu dalam bab fiqh. Hanya saja at-Tirmidzi
di dalam kitabnya ini menggunakan istilah-istilah tersendiri untuk menyebut
status kualitas hadis-hadisnya. Tindakan ini memungkinkan terjadinya perbedaan
pengertian dengan para ulama’ lainnya. Istilah itu antara lain hasan sahih,
hasan gharib, hasan sahih gharib, atau hasan laisa isnaduhu bidzalika
al-qaim (hasan tetapi sanadnya tidak lurus).
Di dalam buku ini bukan tempatnya untuk menjelaskan
maksud dari istilah-istilah tersebut. Saya telah membahasnya secara
sederhana di dalam Syarah (penjelasan)
terhadap kitab al-Mauqidhah karya adz-Dzahabi, dan al-Hasan fi mizan
al-Ihtijaj. Dan kadang-kadang at-Tirmidzi terlalu sembrono dalam menentukan
status tersebut, dengan segala perbedaannya, sebagaimana telah saya jelaskan di
dalam beberapa tulisan.
Secara umum kitab ini termasuk kitab yang sangat
bermanfaat.
* * *
SUNAN AN-NASA’I
Penyusunnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan
bin Bahr bin Dinar Abu ‘Abdurrahman an-Nasa’i.
Di dalam kitab sunan ini terdapat hadis sahih, dla’if,
dan sangat dla’if.
Adalah suatu kesalahan apabila ada yang menganggap hadis
dalam Sunan an-Nasa’i semuanya sahih. Di dalam kitab ini ada ungkapan terhadap
sebagian hadis yang tidak difahami dengan baik kecuali oleh orang yang telah
diberikan ilmu dan pengetahuan oleh Allah. Di dalam kitab ini terdapat
pembahasan tentang i’lal dan perbedaan pendapat. Kitab ini terhadap kitab-kitab sunan bagaikan satu
mutiara di dalam untaian permata[19]
Apabila disebut Sunan an-Nasai saja maka yang dimaksudkan
adalah Sunan al-Mujtaba, yaitu sunan karya beliau yang Sughra,
Beliau juga memiliki Sunan Kubra. Kitab al-Mujtaba bukanlah kitab
hasil ringkasan murid beliau, Ibnu as-Suni, sebagaimana didakwakan oleh
sebagian ulama. Al-Mujtaba’ adalah karya beliau dan hasil seleksi beliau.
Allahu a’am.
* * *
SUNAN IBNU MAJAH
Penyusunnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin
Majah, ar-Rabi’iy al-Qazwainiy.
Kitab beliau ini cukup bermanfaat, hanya saja
kedudukannya di bawah lima kitab hadis terdahulu. Di dalam kitab ini terdapat
banyak hadis-hadis dla’if, dan sejumlah hadis.
Catatan;
Apabila
ahli hadis mengatakan, “Hadis yang diriwayatkan atau dikeluarkan oleh as-Sittah”
maka maksud dari ungkapan tersebut adalah hadis yang dicantumkan di dalam kitab
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
Dan apabila dikatakan, “Diriwayatkan atau dikeluarkan
oleh al-Arba ’ah”, maka yang dimaksudkan adalah Sunan Abu Dawud, Jami’
at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
* * *
MUWATHTHA’ IMAM MALIK
Kitab Muwaththa’ adalah, kitab yang ditulis dengan
urutan sesuai bab-bab fiqh, hanya saja berbeda dengan kitab Sunan dari
segi kandungan kadis marfu’, mauquf dan maqthu’[20]
Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir
bin Amru bin al-Harits, Abu Abdillah al-Madaniy, syaikhul Islam, dan Imam Darul
Hijrah.
Muwaththa’
memuat hadis sahih yang jumlahnya sangat besar, dan sedikit hadis dla’if. Di
dalamnya terdapat kata mutiara yang tidak ada hukumnya kecuali apabila jelas
sanadnya.
Tentang kitab ini Imam Syafi’i berkomentar, “Aku tidak
mengatahui adanya kitab yang paling sahih setelah kitabullah, selain dari
muwatha’ karya Imam Malik”. Komentar Imam syafi’i ini dikemukakan sebelum
adanya kitab shahih Bukhari dan Muslim. Sebab ummat telah sepakat bahwa kitab
yang paling sahih setelah Alqur’an adalah shahihaini.
Di dalam kitab al-Muwaththa’ ada pendapat-pendapat dan
hukum-hukum menurut imam Malik yang harus dipegangi dengan kuat.
* * *
MUSNAD IMAM AHMAD
Musnad adalah
kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat,
lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang
shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat
lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun,
dengan mengesampingkan tema hadis.
Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas,
paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Ada yang
mengatakan, kitab ini memuat sekitar 40.000 hadis, ada yang menyebutkan 30.000
hadis, atau mendekati angka tersebut. Sesungguhnya naskah Musnad Imam Ahmad
yang sudah dicetak berulang-ulang kandungan hadisnya mencapai 27.688 buah
hadis. Allahu A’lam bish-Showab.
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if,
bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudlu’, meskipun hanya
sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’
di dalam kitab ini.
Kitab
ini merupakan salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh ummat
Islam. Penyusun memulai kitabnya dengan musnadnya 10 orang shahabat yang telah
dijanjikan sorga, didahulukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali,
kemudian shahabat yang lainnya yang termasuk sepuluh itu. Kemudian disebutkan
hadis Abdurrahman bin Abu Bakar, kemudian tiga hadis dari tiga orang shahabat,
kemudian musnad ahlul Bait,dia menyebutkan hadis-hadis mereka, demikian
seterusnya sampai tuntas dengan hadis Syidad bin al-Had ra[21].
Soal-Soal Diskusi
1.
Apa perbedaan antara:
a. Atsar dan Khabar
b. Hadis washafy dan hadis Qauli
c. Sunan dan Mustakhraj
d. Musnad dan Muwaththa’
2.
Definisikanlah istilah-istilah berikut ini:
a. Hadis
b. Hadis sahih
c. Kedhabithan
dan keadilan
3. Jawablah pertanyaan berikut ini:
a.
Ada
berapa macamkah pembagian dlabith itu? Berikan penjelasan terhadap
masing-masing bagian!
b.
Apa
hukum ziyadah terhadap hadis shaihaini di dalam kitab Mustakhraj?
c.
Siapakah
yang pertama kali memberikan perhatian terhadap usaha pembukuan hadis nabi?
4. Apakah perbedaan antara Muwaththa’ dengan
Shahih Bukhari dan Muslim. Jelaskan manakah di antara ketiganya yang paling
sahih?
Hadis Hasan
Definisi
مَا
اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ
دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ
اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih ,
hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang
rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi hal itu tidak sampai
mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis
seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadis
yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih. Dalam
hal ini syarat hadis sahih adalah;
1.
Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2.
Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3.
Tiadanya syadz (keganjilan)
4.
Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan
syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadis hasan
tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih.
Periwayat hadis hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq
(jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya
tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Contoh
hadis hasan; Hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah
(2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ
سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ
لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku
nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya),
meskipun samar” Hadis ini sanadnya hasan.
Di
dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu
Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
Hadis Shahih Lighairihi
Definisi
الْحَسَنُ
لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ،
وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ مِنْ ذَاتِ
السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadis hasan lidzatihi apabila diriwayatkan dari
jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadis shahih
lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi
karena bergabung dengan sanad yang lain[22].
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan
dari jalan lain yang setingkat;
Maksudnya adalah ada riwayat dengan sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan
yang lebih kuat; yaitu hadis sahih lidzatihi
Dinamakan
hadis shahih lighairihi; menjadi hadis sahih karena bergabungnya dua
jalan.
Keshahihannya
tidak datang dari sanadnya sendiri;
Maksudnya ketetapan-nya sebagai hadis sahih tidak didasarkan pada satu sanad
saja, melainkan karena digabungkannya dengan sanad yang lain yang
sama atau lebih kuat.
Hadis Dla’if
Definisi
مَا لَمْ
يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya
dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis
sahih)
Penjelasan Definisi
Tidak
terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah
dibahas, antara lain;
1.
Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2.
Sanadnya bersambung
3.
Rawinya ‘adil dan dlabith
4.
Tidak mengandung syadz
5.
Tidak ada illah
Hilangnya
salah satu syarat diterimanya hadis;
Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan
kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’
tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila
tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.
Apabila
tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil,
maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada
syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut
dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang disebabkan oleh
kelemahan rawi.
Apabila
hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk
Dan
apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
Pembagian Hadis Dla’if.
Hadis
dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua
bagian;
1. Hadis yang kedla’ifannya
ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat
dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan
lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang
masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya
diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’
(keterputusan) karena mursal, atau tadlis.
2. Apabila tingkat
kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’
(pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk
karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain
yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if berat,
dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah;
Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali
(69) dengan jalan;
عَنْ أَبِي
دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ
سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا
عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ،
وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami
‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw
bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia
seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy
adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia
pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”.
Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia
ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini
adalah maudlu’, karena kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah
(keadilannya).
Contoh hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh
kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh
Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252) dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ
الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ
ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami
Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin
Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan
panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin,
karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada
berkahnya.
Di dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah
al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan hadisnya)
karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi
kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari hafalannya. Dari
itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang
yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.
Hadis Hasan Lighairihi
الضَّعِيْفُ
الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya, apabila jalannya
banyak
Ada
pula yang mendefinisikan dengan;
مَا كَانَ
ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu dikuatkan dengan hadis
yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan Definisi
Hadis
dla’if yang ringan kedla’ifannya;
yaitu hadis yang datang dengan sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’ atau lebih yang semisal
atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Bazar di dalam
kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawaid
(10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7), Abdul Ghina
al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ
وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ
ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ فِي فَضَائِلِ
رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, ia berkata;
Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga kemudian mengucap,
“Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”…… Hadis
tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah
bin Wardan adalah rijal yang dla’if, dalam hal hafalan, dia
meriwa-yatkan beberapa hadis dari Anas bin Malik yang tidak sama dengan hadis
yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah, hanya saja kedla’ifannya
ringan, tidak berat.
Hadis ini diikuti oleh Tsabit al-Banani, yang juga
meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan
oleh Ibnu Syahin (h.4). Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan
yang ringan juga. Di dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il,
yang hafalannya juga lemah.
Dengan
bergabungnya dua jalan ini, hadis tersebut menjadi hasan.
Soal-soal Diskusi
1.
Definisikan berikut ini
a.
Hadis
Hasan Lidzatihi
b.
Hadis
Shahih Lighairihi
c.
Hadis
Hasan Lighairihi
2. Apa perbedaan antara hadis shahih lighairihi dengan
hadis hasan lighairihi?
3. Manakah
yang lebih kuat di antara jenis-jenis hadis berikut ini?
a.
Hasan
lidzatihi dan hasan lighairihi
b.
Shahih
lighairihi dan hasan lighairihi
c.
Shahih
lidzatihi dan hasan lighairihi
4. Apa yang
dimaksud dengan dla’if ringan dan dla’if berat?
1.
Mursal
Definisi
مَا نَسَبَهُ
التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah
orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi saw baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in
mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”,
“Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat
demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh;
Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf (5281)
عَنْ ابْنِ
جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw
apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu
mengucap, “Assalamu’alaikum”
Atha’
dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia
mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah
adalah mursal.
Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis
mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dla’if.
Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang
mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi
hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan hadis mursal adalah
ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedla’ifannya
atau lebih sahih darinya[23]
selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah
(tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis
yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling
sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara
langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya
dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri
dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal
mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi
saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
Gambar 3:
Skema Hadis Mursal
2. Munqathi’
Gambar 3:
Skema Hadis Mursal
|
Definisi
مَا كَانَ
فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
Penjelasan Definisi
Apabila
di tengah-tengah
rangkaian sanadnya ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih
selama tidak terputus secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada
generasi di bawah tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi
setelahnya. Sedangkan apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka namanya mursal.
Contoh;
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan
(3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ
عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي
الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ الْقُنُوْطِ
Musa bin
Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari al-Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan
kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadis
tentang do’a qunut.
Sanad hadis ini inqitha’. Al-Hafidz Ibnu Hajar ra
berkata di dalam kitab at-Talkhish al-Khabir (1/264), “Abdullah
bin ‘Ali adalah Ibnu al-Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan al-Hasan
bin Ali”
3. Mu’dlol
Definisi
مَا سَقَطَ
مِنْ إِسْنَادِهِ رَاوِيَانِ أَوْ أَكْثَرُ بِشَرْطِ التَّوَالِي
Apabila dari sanadnya hilang
dua rawi atau lebih dengan syarat secara berurutan
Penjelasan definisi
Hilang
dua rawi atau lebih, yang
dimaksudkan adalah para rawi di atas guru penyusun kitab[24].
Contoh;
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286),
dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari
jalan Qatadah, ia berkata;
ذُكِرَ لَنَا
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: اْلكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسَرِ الْعَجَمِ
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda,
kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)
Qatadah yang
dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi, Riwayatnya dari tabi’in
besar sangat agung, Pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau
telah menghilangkan setidaknya dua orang rawi, yaitu seorang tabi’in dan
seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dlol.
Dan hadis mu’dlol derajatnya di bawah mursal dan munqathi’,
karena banyaknya rawi yang hilang dari sanad secara berurutan.
4. Muallaq
Definisi
مَا حُذِفَ
مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ
Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang periwayat
atau lebih dan seterusnya sampai akhir sanad.[25]
Penjelasan Definisi
Awal
Sanad, dihitung dari
penyusun kitab.
Seorang
rawi atau lebih, yaitu
gurunya penyusun kitab, gurunya sang guru, dan seterusnya dihilangkan sanadnya
Sampai
akhir sanad, tempat dimana dikatakan, “Rasulullah saw bersabda”, atau
“Diriwayatkan dari Rasulullah saw”
Contoh;
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman,
Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ
مَالِكٌ، أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَّارٍ
أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ
إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلْفَهَا، وَكَانَ
بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصِ الْحَسَنَةِ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِئَةٍ
ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا، إِلاَّ يَتَجَاوَزُ اللهُ عَنْهَا
Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid
bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id
al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw
bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah
akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan
terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan
itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran
tehadap Allah.
Al-Bukhari
tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik
melalui perantara seorang rawi.
Contoh
lain; dikeluarkan oleh
al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma
Ja’a fi Ghusli al-Baul, (1/51)
وَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِ الْقُبْرِ: كَانَ لاَ
تَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu dia
tidak mem-bersihkan kencingnya.
Al-Bukhari
menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi saw bersabda”.
Hukum Hadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain
Hadis
Mu’allaq adalah dla’if yang tidak bisa digunakan untuk menjadi hujjah,
karena hilangnya seorang rawi atau lebih. Tetapi apa hukumhadis
Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain.
Adapun
Mu’allaq yang ada di dalam Shahih Muslim, jumlahnya hanya sedikit
saja dibandingkan dengan hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahih
al-Bukhari. Hadis Mu’allaq di dalam Shahih Muslim jumlahnya
hanya tiga belas hadis, sebagian di antaranya telah disebutkan secara
bersambung oleh Muslim sendiri. Sebagian lagi disebutkan secara bersambung oleh
ulama’ hadis yang lain. Dan sebagian yang lain disebutkan disebutkan sebagai tabi’
dan syahid.
Hukum
hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahihain adalah;
1.
Riwayat yang disebutkan dengan kalimat positif, seperti dalam ungkapan, “Fulan
berkata”, “Fulan menyebutkan”, “Fulan mengisahkan”, atau “Fulan meriwa-yatkan”.
Maka riwayat itu sahih sampai kepada orang yang ia ta’liqkan itu.
Sedangkan sanad yang lain tetap perlu diteliti, karena bisa jadi sanad
itu sahih dan bisa pula dla’if.
Contoh; riwayat yang disebutkan mu’allaq oleh
Bukhari dari Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu
Sa’id al-Khudriy, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hadis ini dimu’allaqkan
oleh al-Bukhari dengan ungkapan yang pasti dari Imam Malik, yaitu “Malik
berkata”. Hadis ini sahih dari riwayat Imam Malik. Tetapi rawi lainnya perlu
diteliti ‘adalah dan dlabthnya, serta syarat-syarat kesahihan
yang lain.
Contoh lainnya, hadis yang dimu’allaqkan oleh
al-Bukhari dari Nabi saw tenang adzab kubur. Rasulullah saw bersabda kepada
penghuni kubur, “Dia tidak membasuh kencingnya.. Al-Bukhari menegaskan dari
Rasulullah saw, artinya riwayat itu benar dari Rasulullah saw sebagaimana
disebutkan secara bersambung di beberapa tempat di dalam kitab Shahihnya
2.
Hadis mu’allaq yang disebutkan dalam bentuk kalimat negatif, seperti
dalam ungkapan, “Diriwayatkan dari si Fulan”,
“Disebutkan dari si Fulan”, atau “Dikatakan…”. Ungkapan ini terasa lemah
bagi ahli hadis sampai kepada orang yang dimu’allaqkannya
Contoh; Hadis yang dimu’alaqkan oleh al-Bukhari di
dalam kitab ash-Shahihnya (1/74-75), Kitab ash-Shalat, Bab: Wujub
ash-Shalat fi ats-Tsiyab.
وَيُذْكَرُ
عَنْ سَلَمَةِ بْنِ اْلأَكْوَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: يَزُرُّهُ وَلَوْ بِشَوْكَةٍ فِيْ إِسْنَادِهِ نَظْرٌ
Disebutkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Nabi saw
bersabda, “bersarunglah meskipun dengan duri. Rawi di dalam sanadnya perlu
diteliti.
Catatan;
Di sini perlu diberikan catatan, bahwa al-Bukhari
kadang-kadang memu’allaqkan hadis dari gurunya dengan kalimat positif,
maka tidak perlu dianggap adanya rawi yang hilang antara beliau dengan gurunya.
Dan menurut ahli ilmu hal ini dianggap sebagai muttashil, kecuali ibnu Hazm
adh-Dhahiriy, ia berbeda pendapat dengan yang lainnya dan berkata, hadis itu
termasuk munqathi’ (terputus)
Di antara contoh hadis seperti itu adalah; Imam
al-Bukhari berkata di dalam ash-Shahih, Kitab al-Asyribah, Bab:
Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamra wa Yusmiihi Bighairi Ismihi (3:322),
وَقَالَ
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ
الْكِلَابِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ، قَالَ
حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ - أَوْ أَبُو مَالِكٍ- الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا
كَذَبَنِي، سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ،
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ
يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ-
لِحَاجَةٍ، فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ،
وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
Telah
berkata Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami shaqadoh bin Khalid,
telah bercerita kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilabi, Telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman bin Ghanam al-Asy’ari, ia berkata; telah menceritakan kepadaku
Abu Amir –disebut juga dengan Abu Malik- al-Asy’ari, Demi Allah, ia tidak
menipuku, ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Akan ada di antara ummatku
suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan dawai. Dan sungguh akan
turun suatu kaum di dekat gunung, mereka membawa gembalaan mereka. Lalu ada
orang fakir mendatangi mereka karena ada keperluan. tetapi mereka mengatakan,
“Datanglah kepada kami besok. Lalu Allah menidurkan mereka, dan menimpakan
gunung (kepada sebagian mereka) dan mengubah lainnya menjadi kera dan babi
hingga hari kiamat.
Hisyam
bin ‘Ammar termasuk guru al-Bukhari yang pernah ditemuinya secara langsung,
didengar hadisnya, bahkan dia mengajarkan pula hadis darinya, maka menta’liqkan
hadis darinya tidak berarti terputus sama sekali. Wallahu a’lam
5. Mudallas
Definisi
أَنْ
يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ
يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadis) dari
seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadis
yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia
meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari”
atau “ia berkata”
Contoh;
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212),
at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata;
Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu
berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum
mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah
dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis.
Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah
ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan
dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung,
yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini
tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis
tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan
ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu
Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari
jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku
menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata;
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis
tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis
tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul,
dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari
al-Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di
dalam kitab al-Jami’, dengan jalan;
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar
bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku
mendengar rasulullah saw bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk
shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja
ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan
riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima
riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadis tersebut dengan sanad
(3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ،
قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan
kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadis dengan matan seperti di
atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan
hadis ini dari Ibnu ‘Ajlan .
Macam-macam Tadlis
Pertama,
Tadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan
contohnya telah disebutkan di atas.
Kedua, Tadlis
Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadis-nya dengan
identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah.
Hal itu dilakukan karena kedla’ifannya atau karena kemajhulannya,
dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan
kondisi gurunya,.
Contoh; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam
Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ
جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ
رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari
Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi saw, dari
Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu
Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita
dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga dalam sekali
waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin
Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat.
Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan
namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian
anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang
siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan
perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadis ini adalah
Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al-Bukhari mengatakan
bahwa dia, “Munkarul hadis” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”.
Abu Hatim berkata, “hadisnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat
al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah
bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya,
seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”,
yang dimaksudkan dengan kata al-Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain.
Atau seperti dikatakan oleh al-Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang
ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau al-Mishri
mengatakan, “Ia mengajarkan hadis di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah
suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan
fulan mengajarkan hadis kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang
pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadis dari orang yang kedua.
Contoh, Hadis yang disebutkan oleh al-Hakim di dalam ‘Ulum
al-Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi
yang disebut-sebut telah melakukan tadlis- pada suatu hari berkumpul
untuk berjanji tidak akan mengambil hadis yang ditadliskan oleh Hasyim.
Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap
hadis yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari
Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan
riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku
tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan.
Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah
tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadis mengatakan haddatsana
(telah mengajarkan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar)
lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya
dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin
Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadis dari Hisyam.
Contoh, hadis yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam al-Kamil
fi adl-Dlu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata,
“Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan
untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah
ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin
Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadis darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk.
Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari
rangkaian sanad, bisa karena kedla’ifannya atau karena usianya
yang sangat muda, sehingga hadis tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah
dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah
yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal
yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah al-Walid bin Muslim
dan Baqiyah bin al-Walid.
Hukum ‘An‘anah seorang mudallis
Secara umum[26]
seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan
membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadis
dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia
menyatakankan menerima hadis secara sima’ maka riwayat itu dapat
diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak
mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya
ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan
suatu hadis. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan hadisnya
dan menguji riwayatnya.
Tingkatan Mudallis[27]
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis
dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka,
dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima
tingkatan, yaitu
1- Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali
jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id al-Anshari
2- Orang yang tadlisnya ringan, dan
hadisnya masih disebutkan di dalam kitab ash-Shahih karena keimamannya
di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan
bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah
seperti Sufyan bin Uyainah.
3- Orang yang hadisnya didiamkan oleh sejumlah
ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah
kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang
diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa hadisnya
itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi[28] dan Abu Ishaq
as-Sabi’i
4- Orang yang disepakati oleh ahli hadis untuk
tidak berhujjah dengan hadisnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’
karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti
Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
5- Orang yang disebut dengan ungkapan lain,
selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya,
hadisnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab
al-Kalbiy dan Abu Sa’id al-Biqal
Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya
perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara
keduanya dalam hal tidak mendengar hadis dari orang yang disebutkan sebagai
orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada
hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara
keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal
khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat
perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang
ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah
bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Dalam
meriwayatkan hadis itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar
secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia
berkata”.
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran al-A’masy, dari Anas
bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak
menerima hadis darinya. Ia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik yang dia
dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin al-Madiniy berkata; al-A’masy tidak pernah
menerima hadis dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan
ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari
Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakan mursal, bukan mudallas,
meskipun al-A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari
guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan al- Basri, ia melihat Utsman
bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau
tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan al-Basri sama sekali
tidak mendengar hadis yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu
periwayatan Hasan al-Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu
a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal
terletak pada cara sima’nya
seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya.
Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis
darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara,
maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari
seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar
hadis darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
Tambahan; Perbedaan antara Tadlis dan Irsal.
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya
tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia
telah menerima hadis secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara
khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis.
Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh
yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis- maka ‘an‘anahnya
tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’,
meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya
dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun
oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara
kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin
li Asma’ al-Mudallisin, karangan
Burhanuddin al-Halabiy.
- Ta’rif
Ahlu at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi-at-Tadlis, karangan al-Hafidz Ibnu Hajar.
- Jami’
at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil,
karangan al-Hafidz Shalahuddin al-‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu
tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf
Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadlilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad
al-Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab
ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan
penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
Soal-soal Diskusi
1.
Sebutkan definisi masing-masing istilah berikut ini ;
a. Irsal
b. Tadlis
c. I’dlal
2.
Apa perbedaan antara istilah-istilah berikut ini
a. Tadlis dan irsal khafi
b. Tadlis Syuyukh dan tadlis bilad
c. Tadlis ‘Athf dan Tadlis sukut
3.
Apakah hadis mu’allaq itu?
4. Hadis-hadis Mu’allaq yang
terdapat di dalam kitab Shahihaini dibagi menjadi berapa bagian? Dan apa hukum
masing-masing bagiannya?
Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi
Telah
kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya suatu hadis adalah para rawi
memiliki sifat ‘adalah dan dlabth. Dan juga telah kita bicarakan
bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh
taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik,
fasik dan bid’ah. Cacat pada keadilan disebabkan oleh empat hal,
yaitu
a. Dusta
b. Tertuduh
berdusta
c. Tidak dikenal (Jahalah)
d. Bid’ah
Pada
bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena
cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya –atau sebagian di
antara para rawinya.
1. Maudlu’
Definisi
مَا كَانَ
رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ
Apabila rawinya pendusta atau
matannya menyelisihi qaidah [agama].
Penjelasan Definisi;
Rawinya pendusta, maksudnya
salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap
dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah
syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.
Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
مُحَمَّدٌ
بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى
السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي
تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ
تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ
شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis
kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia
berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat,
punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah,
dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia,
“Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang
terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis
ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin
Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan
adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi
berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh
lain, Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no.
2) dari jalan sebagai berikut
عَنْ زِيَادُ
بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ
وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai
Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai
penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban
dan Ramadhan”
Di
dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi,
ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw
Yazid
bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu
ia berkata, Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.
Hukum meriwayatkan hadis maudlu’
Meriwayatkan
hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun
mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang
kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak
mengetahui kepalsuannya.
Hadis
maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati),
at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak
diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh
mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah
satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus
dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’.
Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah,
baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.
2. Hadis Matruk
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ
Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta
Sebagian
ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan
dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal
yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang
dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut
diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham
(tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.
Contohnya;
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no.
6) dengan jalan melalui;
جُوَيْبِرْ
ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ
فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ
فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas
dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia
dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara
tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.
Di
dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id
al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk).
Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan
(tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.
Catatan;
Sebagian
rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara
mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula
yang menyebut wah (lemah) dan
lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti
ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan
ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’.
Allahu A’lam.
Pembahasan Tentang al-Jahalah
Adanya
rawi yang tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab
ditolak-nya suatu riwayat. Jahalah terbagi menjadi dua bagian;
1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap
orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan
tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya
Di
antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain
adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya
hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa
ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362),
“Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga,
dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama
Hafsh.
2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis
darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak
mengemukakan jarh wa ta’dilnya.
Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam
golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh
Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak
dianggap siqah
Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?
Mayoritas
ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul hal
ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang membedakan
antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih ringan
daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang
majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat,
maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua
jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah (adanya
penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke
dalam kategori berat.
Contoh
Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),
حَدّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ
عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu
Luhai’ah menceritakan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu
Waqqash, dari Saib bin Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa
Nabi saw apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya
dengan kedua tangannya.
Hafsh
bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Contoh
hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan
al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari
شَرِيْكٍ
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin
Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual
Yazid
bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.
3. Hadis Mubham
Definisi
الْمُبْهَمُ
مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ
Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan
namanya di dalam sanad.
Contohnya,
hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan
jalan
عَنِ
الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
dari
al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,
ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa
penipu lagi keji
Rawi
di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau
penyakit, juga termasuk mubham.
Contoh;
hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari
مَحَمَّدُ
بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي اْلأَنْصَارِي أَنَّ
رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ
Muhammad
bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari berkata, bahwa
Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis tentang shalat
tasbih.
Hukum Hadis Mubham
Hadis
Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena
periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak
dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa
orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat
dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila
yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena
semua shahabat itu adil.
Mubham matan.
Kadang-kadang
mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi
kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat
pada sanad.
Contohnya,
hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir;
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ
فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ
فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ
مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ
فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ
أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari
Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw,
beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian berdiri
bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah, dan
mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan
mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka
beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah
karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu
berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita,
yang kedua pipinya berwarna merah
kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian, Ya Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada
suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka
yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal
Disembunyikannya
nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan
hadis, karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.
Pembahasan Tentang Bid’ah
Bid’ah
sebagaimana telah saya sebutkan
pada sebab-sebab dlaif karena cacat pada keadilan rawi. Tetapi
apakah hadis dari orang yang melakukan bid’ah tertolak secara mutlak
ataukah ia bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Hal
ini secara terperinci akan dibahas pada bagian kedua dari buku ini, yaitu dalam
Jarh wa Tadil untuk pemula
Soal-soal Diskusi
1.
Apa
sebab-sebab yang meniscayakan cacat pada keadilan rawi?
2.
Definisikan
berikut ini
a. Hadis Maudlu
b. Hadis Matruk
3.
Apa
perbedaan antara hal-hal berikut ini
a. Jahalah Hal dan
Jahalah ain
b. Mubham sanad dan
Mubham matan.
Hadis Dla’if karena Kelemahan pada Kedlabithan Rawi
Dlabt, sebagaimana yang telah didefinisikan terdahulu adalah
kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga
apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam
bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya
Dan
telah kami sebutkan bahwasannya dlabth merupakan salah satu syarat
kesahihan hadis, apabila rawi mengalami sedikit kekurangan pada
akurasinya (dlabth) dibandingkan dengan periwayat hadis sahih, maka
hadisnya menjadi hasan.
Adapun
apabila kurangnya akurasi menyebabkan banyaknya kesalahan di dalam periwayatan
maka hadisnya menjadi dla’if yang tertolak.
Akurasi
periwayat diketahui dari kesesuaiannya dan perselisihannya dengan rawi
lainnya yang siqah. Apabila riwayat seorang rawi sesuai dengan
riwayat para rawi yang siqah, bahkan hampir tidak ada perbedaan,
maka ia dikatakan dlabith, dan dia termasuk rawi yang sahih.
Apabila
kesesuaiannya terdapat pada kebanyakan riwayatnya, dan ada beberapa riwayat
yang berbeda dengan periwayatan rawi yang siqah, maka derajat
periwaya-tannya ada di bawah derajat sahih, dan hadisnya diketegorikan hadis hasan.
Apabila
perbedaan riwayat lebih banyak terjadi dari pada kesamaannya maka ia menjadi dla’if,
dan hadisnya tertolak, kecuali apabila ada tabi’nya. Dengan adanya tabi’
maka hadisnya menjadi hasan, sebab adanya akumulasi jalan sanad[29].
Apabila
seorang rawi terbiasa berbeda dengan periwayatan rawi yang sahih,
dan sangat sedikit kesamaannya maka ia dikatakan banyak kesalahan, sehingga
hadisnya matruk dari segi hafalannya.
Hadis
yang di dalam sanadnya terdapat rawi semacam ini –yang sedikit dlabthnya-
dikelompokkan menjadi bermacam-macam tingkat sesuai kadar kelemahannya,
Jenis-jenis inilah yang akan kami jelaskan pada bab-bab selanjutnya.
1. Hadis Munkar
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا
يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri
periwayat yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih
kuat.
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan
oleh seorang diri periwayat yang dla’if;
Maksudnya, adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if
dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat,
atau yang setingkat apabila kedla’ifannya ringan.
Bertentangan
dengan periwayat yang lebih kuat;
dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadis dalam
bentuk yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih
kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan
Contoh;
hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh
al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) al-Bazzar di dalam
Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari
an-Nadlr bin Syaiban
حَدَّثَنَا
النَّضْرُ بْنُ شَيْبَانَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، حَدِّثْنِي بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ بَيْنَ أَبِيكَ
وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ، قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ
رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ
إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia
berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku
hadis yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw
secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah
saw pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku,
Rasulullah saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian
berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya.
Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan
perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia
dilahirkan oleh ibunya
Pada
sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi
yang dla’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu
ketika ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah
mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para
ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis dari
ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.
Yang
kedua, hadis seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang siqah
(terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh),
seperti Yahya bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah secara marfu’ dengan teks;
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ،
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan
keimanan dan perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu,
dan barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul
qadr dengan keimanan dan perhitungan
maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu
Dengan
demikian An-Nadlr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih terpercaya
dan lebih banyak sanad hadis dan matannya. Dan hadis dari
jalannya adalah munkar.
Contoh
lain; Hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’ (3386) dengan
jalan dari Hammad;
حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ
الْجُمَحِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا
حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa
al-Juhani, dari Handhalah bin Abu Sufyan al-Juhami, dari Salim bin Abdullah,
dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah saw apabila
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap
wajah beliau dengan kedua tangannya.
Setelah
mengeluarkan hadis ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis gharib, aku tidak menjumpainya
kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya seorang diri”
Hammad
bin Isa adalah dla’if hadisnya, Abu Hatim berkata, “Dia dla’if”.
Abu Dawud berkata, “Dia dla’if, dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar”.
Al-Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudlu’ dari
Ibnu Juraij dan Ja’far ash-Shadiq”
Dengan
demikian hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang diri termasuk
hadis munkar.
CATATAN
Dalam
bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…
Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita
sebutkan bahwa ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat
yang dla’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya
terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena
moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak
para imam terdahulu menyebut hadis maudlu’ dengan nama munkar,
karena pembedaan antara munkar dan maudlu’ ini terjadi pada
ulama’ mutaakhkhirin.
Kedua; Sebagian ahli hadis menyatakan tentang munkarnya hadis gharib,
lalu mengatakan “Ini adalah hadis gharib, maksudnya adalah hadis munkar,
sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadis maudlu’.
Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja,
tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan
suatu hadis dengan teks tertentu, dan ada rijal dla’if yang meriwayatkan
hadis dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadis dari
an-Nadlr bin Syaiban (contoh 1)
Atau
sejumlah rijal yang siqah meriwayatkan hadis, dan rijal yang
dla’if meriwayatkan hadis dengan
teks yang sama, hanya saja ia memberikan ziyadah (tambahan)
pada matan hadis, dengan suatu
tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh rijal
yang siqah.
Contoh.
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/101,282), Bukhari (1/40), Muslim
(1/283), Abu Dawud (4-5) Tirmidzi (5-6) an-Nasa’I dalam al-Yaum wa al-Lailah
(74) dan lain-lainnya dengan jalan dari
Abdul Aziz bin Shuhaib
عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ
بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ
بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia
berkata; Nabi saw apabila memasuki wc berkata, Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Tetapi
di dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan jalan dari
Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dla’if hadisnya, dari
Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi saw apabila memasuki wc
membaca do’a,
بِسْمِ
اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Dengan
nama Allah, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki
dan setan betina
Hadis
ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah,
hanya saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka
tambahan ini munkar.
Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang
hadisnya dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi
yang dla’if, seperti hadis Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah
hafidh hanya saja riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya
ketika masih sangat kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila
ia meriwayatkan hadis seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadis
yang menguatkan) dari rijal yang siqah, maka periwayatannya
seorang diri itu dinilai munkar.
Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah
derajat siqah dalam hal dlabth sehingga hadisnya dinilai hasan,
kadang-kadang hadisnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama,
Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa
diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya
bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya,
hadis yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350)
dengan jalan dari Hammad bin Salamah
حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا
سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى
يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin
Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, bersabda; Apaila
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di
tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.
Muhammad
bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, hadisnya hasan dalam riwayat
yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Dia
telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis Abu Salamah. Ibnu Ma’in
berkata, “Ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya,
kemudian meriwayatkan hadis itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadis ini seorang diri dari Abu Salamah,
dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadis ini
munkar, jika dibandingkan dengan matan hadis dari Aisyah ra, yang
tersebut di dalam shahihain secara marfu’;
كُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ
حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum
terbit fajar.
Kata-kata
Rasulullah saw, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”
berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan
membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadis Abu
Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan
dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.
Dengan
demikian hadis ini munkar, padahal hadis datang dari rawi yang shaduq,
yang secara umum hadisnya hasan.
Kedua; bahwa rawi yang shaduq, atau siqah yang
tersalah pada beberapa riwayatnya apabila meriwayatkan hadis dari seorang hafidh
yang masyhur memiliki murid cukup banyak, tetapi ia meriwayatkannya seorang
diri, tidak ada murid lain yang membawakan riwayat yang sama dari seorang
hafidh tersebut, maka riwayatnya sendiri itu munkar. Seperti yang
diisyaratkan oleh Imam Muslim ra di dalam muqaddimah kitab Shahihnya,
“Keputusan
ahli Ilmu (hadis), dan orang yang kami ketahui madzhabnya tentang diterima
periwayatan hadis yang diriwayatkan secara munfarid, adalah bahwa hadis
tersebut telah diriwayatkan pula oleh ahli-ahli ilmu dan hafidz yang siqah
di antara periwayatan mereka. Dan terlebih lagi pada periwayatan itu terdapat
kesesuaian. Apabila ditemukan keadaan demikian, kemudian ia menambahkan suatu
teks yang tidak ada pada rijal lainnya, maka tambahan itu dapat
diterima”.
Adapun
orang yang setingkat dengan az-Zuhri karena kebesarannya dan banyaknya murid
yang hafidz (banyak menghafa hadis)
mutqin (terpercaya) baik pada hadis dari az-Zuhri ataupun hadis
lainnya, atau yang sekelas Hisyam bin Urwah. Hadis dari kedua tokoh tersebut menurut
para ulama' telah tersebar luas di negeri Islam. Murid-murid keduanya telah
menukil hadis dari mereka, bahkan hadis-hadis yang disepakati di antara mereka
jumlahnya cukup banyak. Lalu ada salah seorang diantara murid dari keduanya,
atau murid salah satu di antara keduanya meriwayatkan hadis yang tidak dikenal oleh
seorang pun di antara murid mereka. Dan rawi yang meriwayatkan itu pun juga
tidak pernah meriwayatkan hadis dari guru mereka yang sama dengan hadis sahih
yang diriwayatkan oleh para murid yang lain. Maka hadis seperti ini tidak boleh
diterima.
Contohnya
adalah hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra
(4/316) dan adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/18) dengan
jalan;
مَحْمُوْدُ
بْنِ آدَمَ الْمَرْوَزِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَامِعٍ
بْنِ أَبِي رَاشِدْ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ
–يَعْنِي ابْنِ مَسْعُوْدٍ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عُكُوْفًا بَيْنَ دَارِكَ
وَدَارِ أَبِي مُوْسَى، وَقَدْ عَلِمْتُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ اِعْتِكَافَ
إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، أَوْ قَالَ عَبْدُ اللهِ : إِلاَّ فِي
الْمَسْجِدِ الثَّلاَثَةِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : لَعَلَّكَ نَسِيْتَ وَحَفِظُوْا
dari Mahmud bin Adam al-Marwazi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Jami’ bin Abi Rasyid, dari
Abu Wa’il, ia berkata; Hudzaifah berkata kepada abdullah bin Mas’ud ra, …
antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah
saw bersabda. Tidak ada I’tikaf kecuali di masjidil Haram, atau beliau
bersabda, kecuali di tiga masjid. Kemudian Abdullah berkata; barangkali kamu
lupa sedangkan mereka ingat.
Mahmud
bin Adam adalah shaduq, hanya saja ia telah menyebutkan riwayat hadis[30] ini seorang sendiri dari Ibnu Uyainah, padahal beliau
memiliki banyak murid, dan tidak ada murid-murid Ibnu al-Uyainah yang
meriwayatkan hadis ini. Maka tak dapat diperkirakan bahwa Ibnu Uyainah telah menyembunyikan
hadis ini terhadap murid-muridnya, atau ingatan mereka tentang hadis ini
melemah sedangkan ingatan Mahmud bin Adam tetap kuat, sehingga ia mengemukakan
hadis ini dan mereka tidak mengemukakannya. Bila dilihat dari segi matan,–bahkan
juga di dalam sanadnya, dilihat dari segi rafa' (kebersambungan sampai
kepada Rasulullah saw)– tampak terdapat kemunkaran.
2. Hadis Syadz
Definisi
مَا خَالَفَ
فِيْهِ الْمَوْصُوْفُ بِالضَّبْطِ مَنْ هُوَ أَضْبَطَ مِنْهُ، أَوْ مَا انْفَرَدَ
بِهِ مَنْ لاَ يَحْتَمِلُ حَالَةَ قُبُوْلِ تَفَرُّدِهِ
Adalah
apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit menyelisihi rawi
yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan seorang diri oleh
rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima riwayatnya secara
kesendirian
Penjelasan
Definisi
Rawi
yang bersifat dlabith adalah
rawi yang hadisnya dapat diterima baik karena ia siqah hafidh, siqah,
siqah yukhthi’, atau shaduq hasan al-hadits
Rawi
yang lebih dlabith;
yaitu rawi yang tingkatnya lebih tinggi dari rawi pertama dari
segi kedlabithannya. Iistilah Siqah lebih tinggi dari shaduq.
Rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i dan Abu
Hatim lebih tinggi kedudukannya daripada rawi yang dinyatakan siqah oleh
Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i saja. Siqah hafidh lebih tinggi dari pada siqah
saja. dan seterusnya.
Hadis
yang dibawakan oleh rawi yang siqah apabila ia riwayakan seorang
diri dengan matan yang munkar. Atau bersendiri dengan hadis dari
seorang hafidh besar tetapi tidak diikuti oleh murid-murid yang lainnya
Syadz
kadang-kadang terjadi pada matan,
dan kadang-kadang terjadi pada sanad. Insya Allah akan diberikan contoh
untuk masing-masing jenis tersebut.
Contoh
1. Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang
lebih dlabith daripadanya dalam hal matannya.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan (92337) dengan jalan
sebagai berikut;
حَدَّثَنَا
هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى
Hammam
bin Yahya berkata, Telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari al-Hasan, dari
samurah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Setiap bayi tergadai dengan
aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambut kepalanya
dan diberi nama".
Abu
Dawud berkata Hamam berselisih dalam hal ini, dan bdia meragukan riwayat dari
Hammam. Mereka mengatakan “Yusamma” (diberi nama) sedangkan Hammam
mengatakannya “Yudamma”.
Hammam,
meskipun muridnya Qatadah, tetapi bukanlah termasuk murid pada generasi pertama,
tetapi ia seorang murid yang mengandung keraguan dalam meriwayatkan hadis dari Qatadah,
meskipun dia siqah. Banyak murid Qatadah yang lainnya dan yang lebih dhabith
dari Hammam meriwayatkan hadis yang berebeda dari hadis yang
diriwayatkannya. Para rawi itu menggunakan kata 'Yusamma'. Di antara mereka
adalah Sa'id bin Urwah (yang merupakan murid Qatadah yang paling kuat) dan Aban
bin yazid al-'Athar. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh Hammam
dengan lafadz seperti ini adalah syadz. Yang shahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh jama'ah.
Contoh
kedua, Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang
lebih dlabith daripadanya dalam hal sanadnya.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:382,402), Bukhari (1:52), Muslim 1:228),
Abu 'Awanah (1:198), Abu Dawud (23) at-Tirmidzi (13), an-Nasa'i (1:19,25) Ibnu
Majah (305), dengan jalan
عَنِ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ عَلَيْهَا قَائِمًا
فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَذَهَبْتُ لِأَتَأَخَّرَ عَنْهُ فَدَعَانِي حَتَّى كُنْتُ
عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Dari
al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi saw mendatangi
tempat pembuangan suatu kaum lalu beliau kencing di sana dengan berdiri, lalu
aku datang untuk berwudlu, lalu aku pergi untuk meninggalkannya, lalu beliau
memanggilku sehingga aku ada di belakang beliau, lalu beliau berwudlu dan
mengusap khufnya.
Hadis
seperti ini diriwayatkan pula dari al-A'masy oleh sejumlah ulama' seperti Ibnu
'Uyainah, Waki', Syu'bah, Abu 'Awanah, Isa bin Yunus, Abu Mu'awiyah, Yahya bin
'Isa ar-ramly, dan Jarir bin Hazm
Tetapi
Abu Bakar bin 'Iyasy menyalahi riwayat mereka. Status akurasi Ibnu 'Iyasy
adalah siqah tetapi memiliki beberapa kesalahan. Dia meriwayatkan hadis
tersebut dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari al-Mughirah bin Syu'bah
Abu
Zur'ah ar-Razi mengatakan, "Abu Bakar bin 'Iyasy telah melakukan kesalahan
dalam hadis ini. Yang benar adalah hadis dari al-A'masy dari Abu Wa'il, dan
Hudzaifah". Dengan demikian sanad hadis yang diriwayatkan melalui Abu
Bakar bin 'Iyasy adalah syadz, Allahu a'lam.
Contoh
3, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang
tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada matan.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah
(1216), ath-Thabrani di dalam al-Kabir (1:243) dengan jalan dari Abdurrahman
bin Bisyir bin al-Hakam, dari Musa bin Abdul 'Aziz al-Qanbari, dari al-Hakam
bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas …. hadis tentang salat tasbih.
Musa
bin Abdul Aziz al-Qanbari termasuk rijal yang shaduq, hanya saja hadisnya tidak
dapat diterima bila diriwayatkan hanya dari jalan dirinya saja, seperti halnya
hadis tersebut di atas. Al-hafidz Ibnu Hajar di dalam at-Talkhish al-Habir
(2:7) berkata, "Hadis Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, hanya saja ia
syadz karena beratnya kepribadiannya, dan tidak adanya tabi' dan syahid
(pendukung) dari jalan yang mu'tabar, dan berbedanya cara melakukan salat
tasbih dengan berbagai salat lainnya. Sedang Musa bin Abdul Aziz meskipun dia shaduq
shalih tidak mungkin diterima riwayat yang datang darinya seorang
diri"
Sebagian
ulama' berpendapat bahwa hadis Musa bin Abdul Aziz ini munkar, tetapi
sebagian lainnya menyatakan syadz. Menurut kami keduanya benar. Syadz
khusus berkaitan dengan kedlabithan, dan shaduq adalah termasuk
kategori dlabith, hanya saja ia ada setingkat di bawah siqah.
Sedangkan munkar khusus berkaitan dengan dla'if, dan lemahnya
tingkat shaduq merupakan salah satu indikasi kedla'ifan. Sehingga
apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri atau menyalahi riwayat yang lain,
dinamakan syadz atau munkar tidak menyalahi kaidah dalam ilmu mushthalah
hadis. Allahu a'lam.
Contoh
4, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang
tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada sanad.
Diriwayatkan
oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Malik, dari Zaid bin Aslam,
dari 'Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id al-Khudriy ra secara Marfu'; Sesungguhnya
perbuatan itu dengan niat"
Abdul
Majid ini dinyatakan siqah oleh beberapa orang, tidak hanya seorang
ulama'. Hanya saja dia meriwayatkan seorang diri dari Malik dengan sanad seperti
ini. Yang benar dari riwayat malik dan yang lainnya adalah dari yahya bin Sa'id
al-Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Alqamah dari Umar bin Khaththab.
Dengan demikian hadis Abdul majid adalah syadz.
Yang
harus diingat, bahwa periwayatan hadis seorang diri dari seorang rawi,
baik pada sanad ataupun matan, adalah salah satu jenis dari
kesalahan, ketika dia meriwayatkannya dalam bentuk tertentu, dan menyalahi
riwayat para rawi lainnya yang tidak menyebutkan riwayat seperti itu.
Hadis
Mahfudz dan Ma'ruf
Lawan
dari syadz adalah mahfudz, dan lawan dari munkar adalah ma'ruf.
Maksudnya,
ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dlabith dengan yang
lebih dhabith, riwayat yang rajih (kuat) itu dinamakan mahfudz.
Dan
ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dla'if dengan rawi yang
lebih kuat maka riwayat yang rajih dinamakan ma'ruf.
3. Hadis Mudraj
Definisi
هِيَ
أَلْفَاظٌ تَقَعُ مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ، مُتَّصِلَةٌ بِالْمَتَنِ لاَ يُبَيَّنُ
لِلسَّامِعِ إِلاَّ أَنَّهَا مِنْ صَلْبِ الْحَدِيْثِ
Hadis
Mudraj yaitu (adanya) lafal yang berasal dari sebagian rawi, bergandeng dengan
matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya saja lafal itu berada di
tengah hadis[31]
Macamnya
Mudaraj
ada dua macam, yatu mudraj matan dan Mudraj sanad.
A. Mudraj matan yaitu
apabila seorang rawi memasukkan beberapa kalimat ke dalam hadis nabi saw
dengan menyamarkan asal kalimat tersebut, bahwa sebenarnya berasal dari dirinya[32]
Berdasarkan pada letaknya, mudraj dibagi menjadi
tiga macam, yaitu;
1. Mudraj di awal matan. Mudraj jenis ini jarang ditemukan
Contoh hadis mudraj
di awal matan adalah; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi dengan jalan;
عَنْ أَبِي قَطْنٍ وَشِبَابَةِ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ
Dari Abu Qathn dan Syibabah, dari syu’bah, dari Muhammad
bin Ziyad, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersaba; Sempurnakan-lah
wudlu’, celakalah tumit orang yang berasal dari api neraka.
Kalimat asbighul
wudlu’ (sempurnakanlah wudlu’) dalam hadis tersebut, adalah kata-kata Abu
Hurairah.Yang menunjukkan bahwa kata itu dari Abu hurairah adalah hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya
عن آدَمَ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، فَإِنَّ أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: وَيْلٌ
لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Adam, dari Syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari
Abu Hurairah, “Sempurnakanlah wudlu’ karena Abu Qasim (Rasulullah) saw
bersabda; Celaka lah tumit orang yang
berasal dari api neraka".
2. Mudraj yang terletak di
tengah matan, jenis ini juga hanya
sedikit.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam
kitab as-Sunan (6/21) dengan jalan
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَخْبَرَِنِي أَبُوْ
هَاِنئٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجُنَبِيّ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ
عُبَيْدٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ: أَنَا زَعِيْمٌ –وَالزَّعِيْمُ الْحَمِيْلُ– لِمَنْ آمَنَ بِيْ
وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ وَبَيْتٍ فِي وَسَطِ
الْجَنَّةِ
Ibnu Wahb berkata, telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hani’
dari Amr bin Malik al-Junaby, bahwasannya ia mendengar Fadlalah bin Ubaid
berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, aku adalah pemimpin –pemimpin
adalah penanggung– bagi orang yang beriman kepadaku, memasuki Islam dan
berhijrah, pemimpin di dalam rumah yang berada di tepi sorga dan di tengah
sorga
Kata pemimpin adalah penanggung berasal dari Ibnu
Wahb.
3. Mudraj yang terletak di akhir matan,
inilah yang banyak dijumpai dalam hadis.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di
dalam kitab al-‘Ilal (1/65) dengan jalan;
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ هِشَامَ بْنِ
حَسَّان، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْن، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَسُهَيْلِ بْنِ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ
كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي اْلإِنَاءِ فَإِنَّهُ
لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفَ بِيَمِيْنِهِ مِنْ إِنَائِهِ
ثُمَّ لِيُصِيْبَ عَلَى شَمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَهُ
Dari Ibrahim bin Thahman, dari Hisyam bin Hisan, dari
Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah. dan Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya,
dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah
seorang diantaramu bangun tidur hendaklah membasuh telapak tangannya tiga kali
sebelum memasukkannya ke dalam bejana, sebab ia tidak tahu ke mana tangannya
bermalam. Kemudian hendaklah ia menciduk air dengan tangan kanannya dari bejana
itu kemudian menuangkannya ke tangan kirinya, lalu hendaklah ia membasuh
pantatnya.
Abu Hatim ar-Razi berkata, “Kalimat, 'Kemudian hendaklah
menciduk air… (sampai akhir matan hadis tersebut)' adalah kata-kata
Ibrahim bin Thahman. Ia telah menyambungkan kata-katanya dengan hadis sehingga
pendengar tidak bisa membedakan antara keduanya dengan mudah".
B. Mudraj Sanad
Mudraj ini
terbagi menjadi beberapa macam, yaitu;
1.
Seseorang
meriwayatkan sejumlah hadis dengan sanad yang berbeda-beda, lalu ia
menggabungkan semua sanad itu menjadi satu tanpa menerangkan perbedaan-perbedaan
yang ada.
2.
Seorang
rawi memiliki matan hanya sepotong saja. Sesungguhnya potongan matan
itu mempunyai sanad yang lain lagi. Lalu rawi itu meriwayatkan
hadis dari dirinya secara lengkap dengan sanad yang pertama tadi, padahal
hadis yang ia dengar langsung dari gurunya hanya sepotong, maka bisa dipastikan
ia mendengarkan dari hadis yang lengkap itu dari gurunya dengan perantaraan rawi
lain, tetapi rawi tersebut meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap
dan menggandengkan dengan sanad yang pertama dan tidak menyebutkan rawi
lain yang menjadi perantara antara dirinya dengan gurunya.
3.
Seorang
rawi memiliki dua matan yang berbeda dengan dua sanad yang
berbeda pula, lalu ada seorang rawi lain yang meriwayatkan kedua matan
darinya dengan mengambil salah satu sanad saja, atau mengambil salah
satu dari dua hadis itu dengan sanadnya dan menambahkan pada matan hadis
yang lainnya tersebut matan tersebut, yang sesungguhnya bukan merupakan bagian
dari matan hadis itu.
4.
Seorang
rawi menyebutkan suatu sanad, kemudian ada sesuatu yang
memalingkannya, lalu ia mengatakan suatu perkataan dari dirinya sendiri, tetapi
orang yang mendengarkannya mengira kata-kata itu adalah matan dari sanad
tersebut sehingga yang mendengarkan itu meriwayatkan hadis seperti yang ia
dengarkan itu[33].
4. Hadis Mukhtalath
Definisi
هُوَ مَا يَرْوِيْهِ مَنْ وُصِفَ بِنَوْعٍ مِنْ
أَنْوَاعِ اْلإِخْتِلاَطِ
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan
salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan)
Penjelasan
Definisi
Rawi; baik yang siqah
ataupun dla’if
Memiliki sifat salah satu jenis ikhtilath; seperti
terjadinya kekacauan ingatan sehingga kadang-kadang mencampurkan satu hadis
dengan hadis yang lain, di antara sebabnya adalah karena usia lanjut, atau
karena kitabnya terbakar.
Hukum Hadis Mukhtalath
Hadis Mukhtalath dilihat dari segi dapat diterima
atau tidaknya dibagi menjadi beberapa tingkatan;
Pertama,
dapat diterima hadis dari rawi yang mengalami ikhtilath, apabila ia
siqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadis
tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam
kitab Sunan (3/54)
أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ حَبِيبِ بْنِ عَرَبيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ قَالَ حَدَّثَنَا
عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّى بِنَا عَمَّارُ ابْنُ يَاسِرٍ
صَلَاةً فَأَوْجَزَ فِيهَا فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الْقَوْمِ لَقَدْ خَفَّفْتَ أَوْ
أَوْجَزْتَ الصَّلَاةَ فَقَالَ أَمَّا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ دَعَوْتُ فِيهَا
بِدَعَوَاتٍ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمَّا قَامَ تَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
Telah meberitakan kepada kami Yahya bin Habib bin Arabiy,
ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad, ia berkata; Telah
menceritakan kepada Kami Atha’ bin as-Sa’ib, dari ayahnya, ia berkata; Ammar
bin Yasir pernah melakukan suatu salat bersama kami dengan salat yang ringan
(pendek) lalu orang bertanya kepadanya, engkau telah meringankan shalatmu –atau
pendekkan– Lalu Ammar menjawab; Adapun
dalam hal itu aku telah berdoa di dalamnya dengan suatu do’a yang aku dengar
dari Rasulullah saw, lalu ketika beliau berdiri seseorang di antara kaum itu
mengikutinya…
Atha’ bin Sa’ib adalah siqah, hanya saja ia
mengalami ikhtilath di akhir usianya, dan Hammad yang meriwayatkan hadis
ini darinya adalah Hammad bin Zaid. Dia termasuk orang yang telah mendengar
hadis dari Atha' sebelum ia mengalami ikhtilath. Yahya bin Sa’id
al-Qaththan berkata, "Hammad bin Zaid telah mendengar dari Atha’ sebelum
ia mengalami ikhtilath". Demikian juga penilaian Abu hatim ar-Razi.
Kedua,
Tertolak hadis dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila rawi yang
meriwayatkan hadis darinya mendengarkan hadis setelah ia mengalami ikhtilath
Contohnya; hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (2602), at-Tirmidzi (3446) dan lain-lainnya dengan jalan;
حَدَّثَنَا
أَبُو إِسْحَقَ السَّبِعِيْ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
عَلِيًّا رَضِي اللَّه عَنْهم مَرْفُوْعاً إِنَّ رَبَّكَ يَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ
إِذَا قَالَ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
غَيْرِي
Dari
Abu Ishaq as-Sabi’iy al-Hamdani, dari Ali bin Rabi’ah al-Walibiy, dari Ali bin
Abi Thalib ra secara marfu’. Sesungguhnya Tuhanmu merasa heran kepada hamba-Nya
apabila ia mengatakan ampunilah dosa-dosaku, dan ia mengetahui bahwasannya
tidak ada yang mengampuni dosa selain diriku.
Abu Ishaq as-Sabi’iy seorang Mudallas, ia tidak mendengar
hadis ini dari Ali al-Walibiy. Al-Mizzi telah menukilkan di dalam kitab Tuhfatu
al-Asyraf (7/436) dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu’bah, ia berkata; Aku
bertanya kepada Abu Ishaq, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia
menjawab; dari Yunus bin Khabab, Lalu aku menjumpai Yunus bin Khabab, aku
bertanya kepadanya, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab;
dari seseorang yang mendengar dari Ali bin Rabi’ah.
Ahmad bin Mansur ar-Ramadi telah
meriwayatkan dari Abdur Razaq
ash-Shan’ani, ia berkata; Telah
mengkhabarkan kepadaku Ma’mar, dari Abu Ishaq, telah mengkhabarkan kepadaku Ali
bin Rabi’ah. Dikeluarkan oleh al-Mahamili, di
dalam kitab ad-Du’a (15) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Mu'jam al-Kubra.
Tetapi riwayat ini mengandung cacat.
Abdur Razaq seorang yang siqah hafidz, hanya saja ia mengalami ikhtilath
di akhir hidupnya. ar-Ramadiy belajar kepada Abdur Razaq setelah ia mengalami ikhtilath,
ketika itu ia mendiktekan hadis. Maka tak layak ar-Ramady mengatakan dalam
meriwayatkan hadis itu dengan ungkapan "mendengar".
Khusus untuk Imam Ahmad, beliau
telah meriwayatkan hadis
tersbut dari Abdur Razaq di dalam kitab Musnadnya (1/115) tidak dengan ungkapan yang bermakna mendengar secara langsung. Padahal Imam Ahmad termasuk orang yang mendengar hadis dari Abdur Razaq sebelum ia mengalami ikhtilath.
Ketiga; seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila
ia dla’if, baik orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia
mengalami ikhtilat, atau setelahnya. Yang demikian itu karena hadisnya
tertolak karena illah (sebab)
yang lain, bukan karena ikhtilath. Apabila disandarkan kepadanya ikhtilath,
maka menolak hadisnya lebih utama.
Contoh; Hadis Laits bin Abi Salim. Laits termasuk rijal yang dla’if lagi Mudtharib
hadis (goncang hadisnya), dan ia mengalami ikhtilath di akhir
usianya. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengalami ikhtilath di akhir usianya,
ia banyak mebolak-balikkan sanad, dan merafa’kan riwayat yang mursal,
dan membawa riwayat dari rawi siqat yang bukan dari hadis mereka”
Keempat; Mendiamkan hadis rijal mukhtalith yang siqah,
apabila riwayat orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya
sehingga hadisnya diketahui derajatnya. Apabila
ada kesesuaian dengan para rawi yang siqat, maka hadisnya dapat
diterima, apabila tidak sesuai maka hadisnya tertolak.
Contohnya; Hadis Hammad bin Salmah dari Atha’ bin
as-Saib, sesungguhnya ia mendengar dari Atha’ sebelum dan setelah ikhtilath,
sebagaimana telah kami tegaskan di dalam kitab adl-Dla’if min Qishat
al-Isra’ wa al-Mi’raj, h. 27.
5. Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
Definisi
هُوَ أَنَّهُ
يَزِيْدُ رَاوٍ فِي اْلاَسَانِيْدِ رَجُلاً لَمْ يَذْكُرْهُ غَيْرُهُ
Seorang
rawi menambahkan seseorang rijal di dalam suatu sanad, yang tidak disebutkannya
di dalam sanad lainnya[34]
Penjelasan Definisi
Seorang rawi di dalam suatu sanad menambahkan
seorang rijal dalam sanad suatu suatu khabar atau hadis,
baik dengan disebutkan namanya atau disembunyikan namanya (mubham).
Tambahan rijal tersebut tidak disebutkan oleh para rawi itu di
dalam jalur sanad yang lain.
Syarat
Mazid fi Muttashil Asanid
Adanya pernyataan bahwa seorang rawi telah
menerima hadis dalam bentuk as-Sima’ (mendengar) dari gurunya di tempat
adanya tambahan itu. Jika pernyataan rawi itu tidak dalam bentuk as-sima', melainkan
menggunakan bentuk mu’an’an pada jalur sanad yang tanpa ziyadah,
maka ziyadah itu menjadi rajih (kuat)[35]. Sebab jallur yang tanpa ziyadah dimungkinkan terjadi
irsal atau tadlis. Untuk mencapai kesimpulan yang sahih hendaklah dicari qarinah
dan bukti-buktinya. Selanjutnya dapat ditentukan riwayat yang sahih.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (2/386, 416 dan 467) dan Muslim (3/1466), Abu Awanah (2/109) dengan jalur
sanad dari Abu 'Awanah;
عَنْ يَعْلَى
بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَلْقَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ
الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Dari
Ya'la bin ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Abu Alqamah berkata, Aku mendengar Abu
Hurairah ra berkata; Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mentaatiku
maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia telah
durhaka kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku maka ia telah
mentaatiku, dan barangsiapa yang mendurhakai amir (pemimpin)ku maka ia telah
durhaka kepadaku.
Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i
di dalam Sunan-nya (8/276)
dengan sanad sebagai berikut;
أَخْبَرَنَا
أَبُوْ دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْوَلِيْدِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ حَدَّثَنِي أَبْوْ
هُرَيْرَةَ ...
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Dawud, ia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Ya’la bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari
Abu ‘Alqamah, Abu Hurairah telah menceritakan kepadaku ….
Di
dalam sanad di atas ada tambahan 'Atha' yaitu ayah Ya'la. Inilah yang dinamakan Mazid fi Muttasil al-Asanid. Muslim di
dalam kitab Shahihnya menyebutkan riwayat yang tidak ada ziyadahnya
bahwa Ya’la bin Atha’ telah menjelaskan bahwa ia menerima hadis dari gurunya,
yaitu Abu 'Alqamah, dengan cara as-sima’.
6. Hadis Maqlub
Definisi
مَا خَالَفَ
فِيْهِ الرَّاوِي مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ فَأَبْدَلَ فِيْهِ شَيْئًا بِآخَرٍ
فِي سَنَدٍ أَوْ فِي مَتَنٍ، سَهْوًا أَوْ عَمْدًا
Apabila
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berbeda dengan riwayat rawi yang lebih siqah, karena di dalamnya terdapat pertukaran suatu kalimat
dengan lainya, baik di dalam sanad ataupun
di dalam matan,
karena lalai atau sengaja.
Bentuknya
Di antara bentuk hadis maqlub adalah terbalik
salah satu nama rawi di dalam sanadnya, seperti Murrah bin Ka’b
dikatakan Ka’b bin Murrah
Atau berubahnya suatu kata di tempat yang lainnya pada
suatu matan, seperti di dalam hadis Ibnu Umar ra “Maka saya dengan
nabi duduk di tempat duduk beliau dengan menghadap kiblat dan membelakangi
Syam”. Hadis itu terbalik, yang benar adalah, “Menghadap Syam dan
membelakangi Ka’bah”
Atau bisa juga tertukarnya suatu sanad
dengan matan yang lain
Barangsiapa yang melakukan kesalahan seperti ini maka
kualitas akurasi (dlabth)nya, berdasarkan apa yang telah terjadi adalah
meragukan, sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu. Apabila hal itu
disengaja, maka ia termasuk pengkhianat dan pendusta. Apabila ia menghubungkan
suatu sanad dengan matan, maka ia termasuk pencuri hadis, yang
tercela keadilannya.
7. Hadis Mudltharib
Definisi
الْحَدِيْثُ
الَّذِي يَرْوِيْهِ الرَّاوِي الَّذِي لاَ يَحْتَمِلُ تَعَدُّدُ اْلأَسَانِيْدِ
عَنْهُ مَرَّةً بِسَنَدٍ وَمَرَّةً أُخْرَى بِسَنَدٍ آخَرٍ مُخَالِفٍ بِحَيْثُ لاَ
يُمْكِنُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا
Yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mungkin memiliki beberapa
sanad darinya, suatu kali dengan sebuah sanad, dan lain kali dengan sanad
lainnya yang berbeda, di mana antara keduanya tidak mungkin dikompromikan.
Penjelasan
definisi.
Hadis Mudltharib
ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi; baik siqah, shaduq,
atau bahkan dla’if yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya
sebagaimana halnya rawi yang hafidh lagi siqah seperti
az-Zuhri, Malik dll. Rawi itu mungkin sekali meriwayatkan hadis lebih dari satu
sanad, sehingga tidak dianggap terjadi idlthirab (goncang) karena
banyaknya hadis yang didengarkannya atau yang diriwayatkannya, kecuali jika ada
perbedaan yanag sangat jelas. Suatu kali ia meriwayatkan hadis dengan sebuah
sanad, dan lain kali meriwayatkan dengan sanad lain yang berbeda dan antara berbagai
sanad yang ada tersebut tidak mungkin dikompromikan
Contohnya
يَبِيْتُ
قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوْنَ
وَقَدْ مُسِخُوْا قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ وَلَيُصِيْبَنَّهُمْ خَسَفٌ وَقَذَفٌ حَتَّى يُصْبِحَ النَّاسُ
فَيَقُوْلُوْنَ خَسَفَ اللَّيْلَةُ
بِبَنِي فُلاَنٍ وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ حَاصِبًا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ
كَمَا أُْرْسِلَ عَلَى قَوْمِ لُوْطَ عَلَى قَبَائِلٍ فِيْهَا وَعَلَى دَوْرٍ
فِيْهَا وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ الرِّيْحَ العَقِيْمَ الَّتِيْ أَهْلَكَتْ
عَادًا بِشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ
وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيْرَ
Suatu
kaum di antara ummat ini bermalam dengan makanan, minuman dan permainan, lalu
pagi harinya mereka telah diubah menjadi kera dan bab. Dan sungguh mereka telah
ditimpa kehinaan dan sehingga ketika orang-orang bangun pagi mereka mengatakan
telah terjadi semalam telah terjadi malapetaka di rumah si fulan dan dikirimkan
kepada mereka hujan batu dari langit seperti yang pernah menimpa kaum nabi
Luth, terhadap beberapa kabilah di antara mereka, beberapa rumah di antaranya,
dan dikirimkan angina rebut yang menghancurkan kaum 'Ad karena mereka meminum
khamr, memakan riba, menjadikan perempuan sebagai penyanyi-penyanyi dan memakai
sutera.
Hadis ini telah
diriwayatkan oleh Farqad as-Sabakhi dengan enam versi yang berbeda-beda. Farqad
adalah dikenal sebagai salah seorang rawi yang dla’if. Karena
itulah riwayatnya dikatakan idlthiraab (goncang)
Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matan, dan
kadang-kadang pula terjadi pada sanad. Tetapi idlthirab yang
terjadi pada matan jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi
pada sanad.
1. Apa Hukum
Hadis Mukhtalath
2.
Definisikan istilah berikut ini
ZIdraj
ZHadis Maqlub
3. Apa
perbedaan dari istilah beerikut ini
ZHadis Munkar
dan Hadis Syadz
ZMazid fi Mutashi
al-Asanid dengan Hadis Mudallas
Hadis Mu’allal
Definisi
هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِي أُطْلِعَ فِيْهِ عَلَى عِلَّةٍ تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهِ مَعَ
أَنَّ ظَاهِرُهُ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Yaitu
hadis yang di dalamnya terungkap adanya cacat sehingga menyebabkan rusak kesahihannya, padahal secara dhahir hadis itu terbebas
dari cacat tersebut
Cara
mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat sehingga termasuk mu'allal ataukah
tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya,
mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar
(analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan
kebenarannya.
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, Cara mengetahui illah
hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan
rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan,
dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali al-Madini
mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan
tampak kesalahannya
Illah kadang-kadang
terjadi pada sanad dan kadang-kadang terjadi pada matan.
Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah
menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb al-Mala’I, dari al-A’masy dari
Anas, ia berkata,
كَانَ
النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ
يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُو مِنَ اْلأَرْضِ
Apabila
Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka (mengangkat)
pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.
Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (14), Abu Isa ar-Ramli di
dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50)
Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya
siqah, hanya saja al-A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung
dari Anas bin Malik ra. Ibnu al-Madini mengatakan, “al-A’masy tidak pernah
mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah,
ketika salat ada di belakang Maqam”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jenis hadis ini telah
kami bahas tersendiri dalam satu buku yang khusus. Buku itu juga berfungsi
untuk latihan menyingkap adanya ‘ilal (cacat) pada suatu hadis. Buku
tersebut kami beri nama “Tadrib ath-Thalabah 'ala takwin al-malakah"
(Melatih siswa untuk menanamkan kecakapan), yaitu pada bagian ketiga dari buku
ini.
Hadis Musalsal
Definisi
التَّسَلْسُلُ
هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ تَسَلْسُلِ رِجَالِ اْلإِسْنَادِ جَمِيْعُهُمْ عَلَى صِفَةٍ
أَوْ حَالَةٍ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرِّوَايَةِ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ
لِلرُّوَاةِ
at-Tasalsul
adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada
memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama. Kadang-kadang pada sifat suatu
riwayat, dan kadang-kadang pada sifat rawi.
Penjelasan definisi
at-Tasalsul
adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad,
seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama; dari awal sanad
hingga akhir sanad.
Kadang-kadang persamaan sifat itu ada pada riwayat;
Seperti hadis musalsal dengan sima’, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh para rawi, yang seluruhnya menyatakan telah mendapatkan hadis
dengan cara mendengar dari gurunya.
Kadang-kadang sifat yang berangkai itu ada pada rawi;
seperti seluruhnya mereka orang-orang Mesir, yaitu musalsal dengan
periwayatan orang-orang Mesir, atau hadis tentang menyilangkan tangan, atau musalsal
dengan rawi yang bernama Muhammad.
Contohnya
Hadis yang musalsal dalam membaca Sabbaha
lillahi maa fis samawati wa maa fil Ardl, wa huwal Azizul Hakim
Dan hadis yang musalsal dengan kata, “Sesungguhnya
aku mencintaimu karena Allah”
Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Hadis dilihat dari akhir sanadnya
dibagi menjadi tiga, yaitu
Pertama
Marfu’;
كُلُّ
حَدِيْثٍ نُسِبَ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ
فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
yaitu
setiap hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw, baik perkataan, pekerjaan,
taqrir (ketetapan) atau sifat.
Kedua,
Mauquf;
مَا نُسِبَ
إِلَى الصَّحَابِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
yaitu
hadis yag dinisbahkan kepada Shahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir
Ketiga,
Maqthu’;
مَا نُسِبَ
إِلَى التَّابِعِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
yaitu
setiap hadis yang dinisbahkan kepada Tabiin, baik perkataan maupun perbuatan
|
1. Bagaimana
cara mengetahui adanya illah di dalam suatu hadis?
2.
Definisikan istilah berikut!
a.
Hadis
Mu’allal
b.
Hadis
Musalsal
3. Apa
perbedaan antara istilah berikut
a.
Marfu’ dan Mauquf
b.
Khabar dan Maqthu’
[1] HR Muslim
[2]
An-Nukat ‘ala Ibni ash-Sholah, Ibnu Hajar, j.1 h.225
[3] Tadrib
ar-Rawi, as-Suyuthy, j.1 h.41
[4]
Muqaddimah Ibni Sholah, h.11
[5] Nuzhat
an-Nadhr, h.51
[6] Ibid
[7] Ibid,
h.52
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu
Sa’d di dalam kitab ath-Thabaqat, dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah,
dan juga al-Khathib di dalam kitab Taqyid al-Ilmu
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dan al-Khathib di
dalam Taqdim al-Ilmu, dan ad-Darimi menyebutkan di dalam kitab as-Sunan
seperti itu
[13]
Lihat, Ulumul al-Hadits, Ibnu Sholah, h.20. Juga dikeluarkan oleh
al-Khathib di dalam kitab Tarikh al-Baghdad, j.2, h.8 dengan sanad yang
sampai kepada beliau (al-Bukhari), “Aku tampilkan di dalam kitab ini –yakni
ash-Shahih- dari sekitar 600 ribu hadis”
[14] Tarikh
al-Baghdad, j.2, h.8, dan Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahaby, j.12,
h.401
[15] Lihat, as-Siyar, j.12, h.566
[16] Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, j.1, h.14
[17] Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi,
j.1, h.112
[18] Ar-Risalah
al-Mustathrafah, al-Kutabi, h.32, dengan perubahan redaksi
[19] Pendapat Ibnu Katsir di
dalam Mukhtashar ‘Ulum al-Hadits, h.29, “Pendapat al-Hafidz Abu Ali bin
as-Sakan, dan demikian pula al-Khathib al-Baghdadi tentang kitab as-Sunan karya
an-Nasa’i, “Ia shahih tetapi perlu diteliti ulang.”
[20] Ushul
at-Takhrij, h.199, dengan penyederhanaan redaksi.
[21]
Ibid, h.43
[22] Taisir Mushthalah
al-Hadits, Mahmud Thahhan, h.50, dengan perubahan reaksi pada akhir
kalimatnya.
[23] Pendapat ini menurut madzhab
muta’akhirin, adapun menurut pendapat mutaqaddimin ia tetap
dla’if meskipun ada pengikutnya.
[24] Jika sanad yang hilang
termasuk guru penyusun kitab dan gurunya sang guru , hadis itu dinamakan mu’allaq.
Hadis Mu’alaq akan dibahas setelah ini.
[25] Lihat Hadyu as-Sari,
al-Hafidh Ibnu Hajar, h.14
[26] Adapun secara terperinci,
pembahasan tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan
yang berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu
an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah
merujuk ke sana.
[27] Ta’rif Ahli at-Tadlis
Bimaratib al-Muwashsahafin bi at-Tadlis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan
ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadlis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah
Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari, h.10.
[28] Terdapat perbedaan pendapat
tentang beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala
al-Alsinah al-Wafidah
[29] Inilah madzhab mutaakhirin
[30] Kalau seandainya hadis itu ada penguatnya
tetapi dla'if. Lihatlah penjelasan yang lebih terperinci dalam hady an-nabi fi
Syahri Ramadhan, h. 51.
[31] Al-Mauqidhah, adz-dzahabi, h. 35
[32] an-Nukat 'ala Ibni ash-Shalah,
al-Hafidz Ibnu Hajar, 2:811
[33] Nazhatu an-Nadhr, h. 100
[34] Mukhtashar 'Ulum al-Hadis, Ibnu
Katsir, h. 171
[35] Nuzhatu an-Nadhar, h. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar